Aku berfoto dengan mereka, para penggemarku. Mereka meminta tanda tanganku dan sesekali berteriak memuja-muja diriku. Novel perdanaku yang sangat sukses sudah terbit dan menjadi novel terlaris tahun ini. Malam ini juga, aku akan kembali ke Indonesia untuk bertemu dengan keluargaku yang jelas rindu menantiku dari penerbitan buku di Tokyo, New York, dan Roma. Setidaknya, sebagai manusia biasa, aku juga membutuhkan istirahat. Penerbangan akan dimulai pukul delapan malam dari Roma ke Taiwan untuk transit dan lanjut ke Indonesia.
Aku duduk dengan lelah setelah sekitar satu juta buku aku tandatangi di Roma. Aku mengambil cermin kecil yang selalu menjadi kesayanganku. Aku melihat bulu mataku masih melekat dengan sempurna. Kadang aku bertanya, apakah kita hidup untuk mencari uang atau mencari uang untuk bertahan hidup? Bagiku, aku hidup untuk hidup. Untuk mencapai tempat dimana aku berada sekarang, aku melewati banyak sekali rintangan dan hambatan. Jika aku bisa mengakhirinya dari dulu, aku akan mengakhirinya.
Aku berjalan menuju pesawat dan duduk di kelas bisnis. Aku meletakkan tas kecil yang menjadi kesayanganku di samping tempat dudukku. Aku melihat pemandangan kota Roma di saat malam hari. Andai saja aku bisa pergi dan menikmati ini bersama seseorang di sampingku, itu akan menjadi sempurna.
Aku mengeluarkan buku kecil tetapi tebal dan sebuah bolpoin. Buku yang baru saja aku temukan di lemari pakaianku sebelum aku pergi. Aku membuka halaman pertama buku itu. Hanya ada kertas kosong tanpa garis dan belum ada coretan sama sekali. Aku mulai termenung dan menopang daguku. Berusaha menuliskan ide novel terbaru untuk sekuel novelku yang begitu laris. Novel perdanaku yang berjudul Words of Him telah membuatku meneteskan beberapa liter air mata selama mengetik ceritanya.
Mari sekarang kita buat cerita yang tidak membuatku terus terpuruk dalam keadaan. Aku adalah wanita yang tidak bisa melupakannya. Jangan tanya ia adalah siapa. Jika kalian membaca novel tersebut, kalian akan bisa menebak siapa pria yang selama ini menganggu jiwaku. Pria gila yang membuatku terus bertahan didekatnya.
Kau...dimana?
Aku menuliskan dua kata sebagai permulaan buku tersebut. Aku memutar-mutar bolpoinku. Buku itu takkan mampu menjawabnya, aku tahu itu.
Aku...merindukanmu.
Aku melanjutkan baris berikutnya dengan kalimat seperti itu. Kemudian aku tersenyum pada buku tersebut. Tanganku terasa begitu lemas untuk menuliskan kalimat yang panjang. Tetapi, setidaknya aku masih bisa menuliskan kata-kata yang menggambarkan perasaanku.
Aku pun menggelengkan kepala tanda menyerah. Benar-benar tak ada ide untuk melanjutkan kalimat tersebut. Aku hanya ingin tahu keberadaannya dan ingin dia tahu bahwa aku selalu merindukannya. Hanya itu. Jika ia bisa membacanya atau setidaknya mengetahuinya, aku akan sangat senang.
Pria itu, gumamku sembari tertawa samar. Pria itu pasti tidak peduli akan keadaanku, seperti bagaimana ia selalu menampakkannya padaku. Kemudian, aku menutup buku yang baru berisi dua kalimat dan empat kata tersebut. Aku memasukkannya kembali kedalam tas. Tas Gucci yang menjadi impianku sejak aku kecil akhirnya bisa aku beli. Mungkinkah...ini yang ia sebut suatu saat nanti?
Aku pun membuka dompet Prada dari dalam tas tersebut. Kemudian, membukanya dengan hati-hati. Fans yang sangat dermawan memberikan dompet ini sebagai kado ulang tahunku. Aku melihat foto kecil terselip dibagian dalam dompet tersebut.
Fotoku dengan seorang pria yang mengenakan kemeja biru dan aku yang mengenakan baju merah dan lipstik merah tersenyum lebar. Pria itu merangkul tubuhku dan tersenyum bahagia kearah kamera. Tingginya melebihiku dan badannya bidang membuat siapapun wanita yang melihatnya akan segera tertarik padanya. Kami terlihat begitu bahagia di foto tersebut.
Aku tersenyum tipis sembari menghela napasku. Bahagia? Aku tak yakin aku benar-benar bahagia. Bagiku, mengenang setiap detik demi detik bersamanya hanya akan membuatku gila. Kadang, hatiku ingin berkeluh kesah. Kadang hatiku mengatakan bahwa pria itu sudah pergi terlalu jauh, ia sudah tidak berpijak di muka bumi ini.
Karena ia pernah berkata demikian,
"Aku hanyalah aku. Kamu hanyalah kamu. Dan kita hanyalah kita. We just are."
Meskipun aku adalah seorang penulis novel, aku tak bisa mengartikannya dengan baik dan benar. Aku berusaha mencari makna dari perkatannya.
Apakah itu berarti tidak ada makna apapun selama ini?
Tapi kami hanyalah kami, itu serpihan kalimatnya
Aku menuliskannya didalam buku kecil itu dengan tersenyum kecil. Serpihan? Tentu tidak itu bermakna sangat besar bagiku.
Seluruh kenangan antara diriku dengannya akan tersimpan dalam serpihan-serpihan kenangan yang mungkin tak tercatat oleh sejarah, tak dihitung oleh ekonomi, dan tak dibicarakan oleh sosiologi, namun terikat rapi dalam otakku.
"Kau tahu setidaknya kau memiliki satu orang yang sudah menunggumu sekian lama."
KAMU SEDANG MEMBACA
WORDS of HIM (COMPLETE)
Romance#1Novel Indonesia; #1 Novel Romantis "Aku? Aku menyukainya sejak pertama kali bertemu dengannya. Aku terus menerus memikirkannya, sampai aku mengetahui semua mengenainya. Ia tidak lebih dari pria dingin, malas, tak sempurna, dan...yang sudah memilik...