EPILOG

3.1K 73 18
                                    

Semuanya terjadi secara begitu kebetulan. Aku kebetulan melamun pagi itu dan pria itu kebetulan datang terlambat sehingga kami kebetulan bertemu saat aku hampir tertabrak. Pagi itu, pelanggaran pertama dan terakhirku selama tiga tahun di SMA, aku kebetulan membaca nama belakangnya dan aku kebetulan begitu jatuh cinta padanya. Kebetulan Viona mengadakan pesta dan aku sangat menunggunya. Entah bagaimana, kebetulan ia datang bersama Lyn dan menghancurkan perasaanku seutuhnya. Secara kebetulan aku sadar ia tidak datang sekolah lama sekali dan aku sadar bahwa ada yang tak beres dengan hidupnya.

Semuanya terjadi begitu saja. Seolah air sungai yang mengalir. Apakah itu semua benar-benar hanya sebuah kebetulan? Apakah takdir tidak mengambil andil dalam kekacauan cinta ini? Tidakkah takdir mempertemukan kami? Bukankah aku bertemu dengannya dan kami jatuh cinta adalah hal yang tidak bisa ditolak? Pria itu dulu mengatakan bahwa ia hanya merasa bersalah padaku, lalu aku marah dengannya. Tetapi takdir mendorong kami untuk bertemu kembali. Walaupun tertelan ingatan, waktu, dan usia, kami seolah tidak pernah menyerah menuntut takdir untuk mempertemukan kami kembali.

Tidak ada hal yang kebetulan di dunia ini. Jika aku bertemu dengannya dan berakhir dengannya, inilah takdirku. Walaupun perjalanannya diisi dengan penuh luka, ini juga takdirku. Meskipun seorang pria konglomerat mengejarku selama hidupnya, aku tidak pernah terenyuh. Walaupun William menyukaiku sejak awal SMA, dia tidak pernah berhenti merasakannya. Siapa yang menggerakkan kehidupan ini? Mengapa kadang begitu menyedihkan sampai aku tidak tahu dosa apa yang aku perbuat sebelumnya dan kadang begitu menyenangkan hingga aku ingin menghentikan waktu sejenak.

Awalnya aku menganggap hidup akan menyenangkan tanpa adanya cinta. Tanpa adanya perasaan sedih saat orang itu meninggalkan kita dan tanpa adanya perasaan begitu bahagia saat ia menanyakan apa kabar kita. Semuanya akan baik-baik saja tanpa cinta. Itu salah. Aku mendapati pengalaman paling aneh karena jatuh cinta, apalagi terhadapnya. Ada suatu dorongan untuk menarik perhatiannya. Apapun itu, jika ia bisa menyadari kehadiranku, akan aku lakukan. Tak peduli apakah itu bodoh atau terdengar tidak masuk akal, asalkan pria itu sadar bahwa aku ini wanita yang layak dipertaruhkan, aku akan melakukannya.

Itulah cinta. Semakin aku mempelajarinya, semakin aku merasakan luka yang dibawa karenanya. Tangisan yang seolah takkan berhenti untuk mengharapkannya dan setidaknya menyadarkan Tuhan bahwa kita tidak baik-baik saja tanpanya. Teriakkan dalam doa yang kita bawa setiap malamnya untuk membuatnya setidaknya menoleh dan menatap kita. Cinta itu bodoh. Kita terus menerus tersakiti karenanya tetapi memilih bertahan karena seolah kita tidak memiliki pilihan.

Cinta menyadarkanku pada konsekuensi pahit yang siap aku cicipi. Orang yang aku cintai seutuhnya mungkin bahagia dengan wanita lain. Mungkin hidupnya terganggu dengan kehadiranku. Mungkin merasa begitu menderita hingga akan mengakhiri hidupnya. Mungkin tidak pernah menatapku sebagai siapapun. Mungkin mengabaikan keberadaanku seutuhnya. Apakah aku bodoh untuk jatuh cinta? Iya. Aku begitu bodoh untuk jatuh cinta. Aku tidak pernah cukup pintar untuk hanya mengatakan, 'Ya, aku akan baik-baik saja tanpa cinta.'

Aku tidak akan pernah cukup dewasa untuk berhenti bersedih saat sesuatu tidak berjalan sesuai apa yang kita harapkan. Aku tidak pernah cukup bahagia untuk bersyukur apabila pria itu tidak bersamaku. Bukankah Tuhan juga memakiku untuk jatuh cinta? Tuhan akan menegurku mengapa begitu bodoh untuk tidak mencintai pria yang jelas-jelas bisa kumiliki. Mengapa memilih utara saat pintu ke selatan terbuka lebar? Mengapa? Itulah misteri cinta.

Mengapa harus ada cinta di dunia ini? Mengapa ada perasaan tidak mau move on yang begitu pekat di dalamnya? Apakah semua kisah seperti ini? Apakah semua orang harus menderita seperti ini? Kehilangan, menemukan, kehilangan, dan menemukan? Itulah siklus yang paling aku benci. Untuk apa kita bahagia jika ujung-ujungnya tersakiti? Lagi-lagi aku salah. Aku memilih untuk bahagia satu detik walaupun tersakiti satu tahun.

Aku memilih otakku bekerja lebih keras untuk menemukan alasannya. Daripada aku mendapati hatinya menjawab ia tidak pernah menyukaiku. Tidak, walaupun satu detik. Biarkan otakku ini menemukan jawabannya, walaupun sebenarnya aku tidak pernah menemukan jawaban apapun. Hanya keraguan dan ketakutan di dalam diri ini. Tidak pernah ada keberanian untuk mendengar kesaksiannya mengenai diriku. Memilih hidup di balik bayangan diriku sendiri, berasumsi, mungkin pria itu mencintaiku saat hari cerah. Saat hari buruk, berasumsi ia pasti membenciku sepenuhnya.

Cinta hanya membawaku penyesalan. Cinta hanya memberi luka. Cinta akan menyadarkan kita seberapa jahatnya seseorang. Karena kita dengan bodohnya akan tetap setia menunggu walau disakiti. Berdiri walau diusir. Mengelus pundaknya walaupun ia menangisi wanita lain. Tersenyum padanya walaupun ia tidak mengacuhkannya. Itulah cinta.

Tapi pertanyaannya, bagaimana cerita memiliki akhir yang bahagia tanpa cinta?

Itulah alasan aku pun terjebak dalam permainan ini. Karena, aku diam-diam mengharapkan akhir bahagia. Tidak peduli seberapa sakitnya perjalanan menuju akhir tersebut. Aku akan tetap mengusahakannya.

"Dengan berakhirnya novel ini, berakhir pula perasaanku terhadapnya karena kami memutuskan untuk tidak mengakhirinya bahagia. Atau setidaknya kami membuat akhir bahagia secara terpisah. Karena diriku hanyalah aku. Dia hanyalah dia. Dan kami hanyalah kami. Karena aku begitu terluka olehnya. Karena aku tahu aku terjebak tidak hanya dalam cinta. Tetapi juga dalam ketidakmungkinan..."

-penulis


WORDS of HIM (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang