SATU HARI BERSAMANYA - Part 11

2.5K 84 3
                                    

Jika kedua orang tuaku bisa membaca pikiranku, mereka akan mendapati ucapanku setiap bertemu mereka, "Maafkan aku karena harus berbohong. Tetapi, aku juga merasa sangat bahagia dan nyaman berada bersama William. Jadi, izinkan aku berbohong satu hari untuk bahagia bersamanya. Hanya satu hari."

Aku mengenakan baju berwarna hitam kesayanganku. Mengenakan sepatu Valentino berwarna keemasan dan memilih tas Chloe berwarna putih. Aku terbangun pagi sekali. Bersiap-siap untuk bertemu dengannya. Memasukkan kado untuk William kedalam mobil sebelum siapapun di rumahku terbangun. Tak lupa dengan lipstik berwarna merah dan sedikit riasan. Aku membiarkan rambutku tergerai lurus dan berlatih tersenyum.

Aku sarapan dengan singkat dan segera menuju rumah William. Ya, aku berencana memarkirkan mobilku di rumahnya. Saat aku datang, rumahnya sepi sekali. Lalu, aku turun di lobi dan membiarkan petugas di pintunya memarkirkan mobilku. Aku melangkah masuk kedalam rumahnya. Salah seorang pelayannya mengenali wajahku.

"Apakah wajah ini begitu mudah diingat?" aku berbasa-basi dengan pelayannya yang menuntunku masuk kedalam ruang tamunya.

"William tidak pernah membawa wanita ke rumah ini. Jadi tentu saja saya ingat," ujarnya dengan penuh kejujuran.

Tidak pernah? Termasuk Lyn? Bagus. Aku senang mendengarnya.

Aku terduduk di sofa yang penuh kenangan tersebut. Melihat sekeliling dan tidak nampak kehadiran William. Tak lama, aku melihat wanita cantik dengan tubuh yang indah melangkah menghampiriku. Rambutnya pendek dan wajahnya begitu segar. Tersenyum tipis padaku. Duduk di sampingku.

"Apakah kamu pacarnya?" tanyanya dengan nada yang dingin kearahku.

"Saya temannya, tante," ujarku padanya dengan nada yang lembut.

"William tidak pernah bercerita apa-apa. Ia tak pernah makan malam bersama, memilih makan diatas tempat tidurnya seraya menatap televisi yang tidak pernah dinyalakan dibandingkan satu meja makan dengan kedua orang tuanya," wajahnya nampak begitu muram.

"Saya tahu bahwa William adalah orang yang baik. Apakah tante sayang padanya?" aku menanyakannya dengan tatapan yang lembut.

"Saya sayang sekali padanya. Ia dibesarkan di..., tempat yang tidak baik," matanya hampir meneteskan air mata.

"Saya tahu semuanya. Jika tante sayang padanya, mohon jangan berpisah dengannya. Saya tahu saya tidak punya hak apapun. Tetapi, menerima saran tidak pernah rugi," aku mengatakannya dengan nada yang sebaik mungkin agar tidak salah paham.

Wajahnya melengkung membentuk senyuman, "Andai pria itu mau mendengarnya, saya ingin mengatakan bahwa saya adalah ibu yang buruk. Tetapi, saya selalu mendoakannya," wanita itu tak bisa menahan air matanya.

"William juga sangat sayang pada keluarganya. Ia sangat peduli dengan Janette dan ia juga sangat cemas dengan perceraian kedua orang tuanya," ujarku dengan senyuman.

Wanita itu memeluk diriku dengan erat. Kemudian, menepuk punggungku dengan lembut. Ia seolah menangis di bahuku.

"Melegakan untuk mendengarnya. William benar-benar mencintai kami?" ia melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya.

Aku mengangguk, "Itu alasan mengapa ia menjadi begitu pendiam. Karena ia tak tahu cara menyampaikan rasa takut, sayang, dan cemasnya. Setiap pulang sekolah, William selalu mencari Janette dan menceritakan seberapa ia sayang pada kedua orang tuanya," William mengatakannya padaku dua hari lalu.

"Terimakasih untuk menjadi temannya. Kamu membuatnya menjadi manusia," ujarnya padaku dengan lembut.

Tak lama, William menampakkan wajahnya padaku. Tatapannya datar. Ia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

WORDS of HIM (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang