"Kau pulang hari ini?" suaraku yang terdengar hangat mengangkat telepon darinya. Seolah sudah lama sekali sejak terakhir kali aku mendengar suaranya. Sejak aku melihat pesan darinya.
"Tunggu aku. Aku akan segera menemuimu," jawabnya dengan nada yang bahagia padaku.
Aku tersenyum, "Baiklah William. Jaga dirimu baik-baik. Aku akan siap mengangkat teleponmu," aku mengatakannya.
Enam hari telah berlalu dengan membosankan. Aku merasa begitu kesepian. Apalagi beberapa hari lalu, Jericho mengatakan padaku, "Lepaskan William, seperti bagaimana ia sebenarnya selalu memintamu untuk melakukannya. Dia tidak ingin kamu melihatnya menjadi sosok yang lemah."
Seolah otakku pernah mengingatnya. Apakah ia pernah mengatakan hal ini padaku? Ataukah saat itu William sendiri yang mengatakannya padaku? Karena kalimat untuk melepaskannya terdengar familiar di telingaku.
Tetapi, aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidup tanpa dirinya. Bagaimana cara aku bisa melupakannya?
...
Aku melihat William dengan beberapa orang pengawalnya yang berpakaian hitam berjalan di belakangnya. Aku melambaikan tanganku saat bertemu dengannya.
"William, sudah lama," aku segera memeluknya erat-erat dan pria itu nampak sedikit terkejut dengan tingkahku.
"Aku juga merindukanmu, Nicola," ia menepuk pundakku dengan lembut.
"Aku merasa tidak sopan menanyakan hal ini, tetapi apakah kamu punya tempat tinggal?" tanyaku padanya, aku tahu dia adalah orang kaya, namun, mungkin saja ia tidak memiliki rumah di Indonesia.
Pria itu tersenyum, "Aku akan membeli rumah di sebelahmu," jawabnya padaku.
"Bagaimana kamu tahu rumah sebelahku kosong?" aku mengerutkan dahiku.
"Aku meminta Jericho mencari tahunya. Tepatnya, aku sudah membelinya," pria itu mengatakannya.
"Lalu bagaimana para pengawalmu?" aku menunjuk pria-pria kokoh yang membawakan kopernya.
"Mereka sudah aku sewakan apartemen. Sementara waktu, bolehkah aku tinggal di rumahmu? Kau tahu, rumah baru masih harus dibersihkan dan diperbaiki," jawabnya padaku.
Aku tersenyum, "Kamu juga tahu aku tidak dengan orang tuaku?"
Ia mengangguk jujur.
...
Aku membuatkannya cokelat hangat dan mengantarkannya ke balkon. Ia sedang menikmati bintang malam di balkon rumahku. Bintang gemerlapan seakan menemani malam kami berdua. Cuaca dingin dan kami sama-sama mengenakan baju hangat.
"Minggu yang menakjubkan bagi kita," aku mengatakannya seraya menengadahkan kepalaku pada bintang-bintang.
Pria itu tersenyum, kemudian meminum cokelat hangatnya.
"Nicole, dulu kamu pernah mengatakan bahwa kamu menyukaiku sejak pertama kali bertemu denganku. Sejak saat itu, kamu tidak bisa melupakanku. Kemudian, kamu mengatakan bahwa kita bertemu di dimensi paralel. Aku juga demikian," pria itu meletakkan gelasnya dan menatapku yang duduk di hadapannya.
"Aku merasa, kita seolah pernah bertemu entah kapan, bagaimana, dan di mana. Tetapi, aku merasa familiar dengan wajahmu saat pertama bertemu dan aku langsung menyukaimu," pria itu menatapku dan mengharapkan reaksiku.
"Mungkin itu alasannya meskipun aku sudah lupa ingatan, aku masih mengenali wajahmu saat bertemu padahal delapan tahun telah berlalu. Aku merasa demikian. Selama delapan tahun, tidak, selama aku hidup di dunia ini dua puluh tujuh tahun, aku tidak pernah menyukai pria lain selain dirimu. Aku tidak pernah memikirkan pria lain, selain bagaimana keadaanmu. Aku menyukaimu secara tidak wajar," aku membuang pandanganku dan menatap keluar balkon yang disinari sedikit cahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
WORDS of HIM (COMPLETE)
Romance#1Novel Indonesia; #1 Novel Romantis "Aku? Aku menyukainya sejak pertama kali bertemu dengannya. Aku terus menerus memikirkannya, sampai aku mengetahui semua mengenainya. Ia tidak lebih dari pria dingin, malas, tak sempurna, dan...yang sudah memilik...