Ujian sudah selesai. Aku bernapas lega. Pulang sekolah, semua orang seolah sudah memiliki impian. Ada yang bermain bersama teman-teman, tidur sampai pagi, menonton, dan banyak hal. Derek mengajakku untuk makan malam dengannya. Namun, aku rasa aku tidak memiliki napsu makan jika begitu caranya.
Aku memutuskan untuk memanggil Emma ke rumahku. Mengingat pekerjaannya yang santai membuat ia cocok untuk menemaniku. Sejujurnya aku hanya ingin bercerita mengenai William. Semalaman sudah aku berpikir. Mataku tak terpejam sama sekali. Seraya menunggu Emma datang ke rumah, aku memegangi buku Words of Him. Aku bahkan memeluknya erat-erat. Inilah yang sudah aku pikirkan semalam. Satu-satunya cara untuk menjadi bahagia adalah melupakan William. Pria itu tidak pernah nampak. Kian hari, kepalaku menjadi pusing dipenuhi oleh ingatanku terhadapnya.
Aku tidak mau membuang buku itu. Tetapi aku hanya tidak ingin melihatnya. Kurasa, Emma adalah orang yang tepat untuk menyimpan salah satu hal paling berharga dalam hidupku.
Tak lama, aku dengar Ibu memanggilku. Emma dengan baju putih dan celana hitam segera masuk kedalam kamarku. Wajahnya selalu cerah dan cantik. Ia menatapku seolah ia tahu apa yang akan aku bicarakan dari awal sampai akhir bersamanya.
Ia duduk di sofaku. Kami duduk berhadapan. Begitu melihat wajahnya saja, mataku sudah berkaca-kaca. Akhirnya semua yang ingin aku katakan bisa aku katakan. Aku tidak pernah memiliki siapapun yang aku percayai untuk mendengar keluhanku. Bahkan orang tuaku sendiri mungkin akan menghujatku jika itu mengenai William.
Aku segera memeluk Emma dengan erat. Air mataku mengalir deras tanpa perlu dipaksa. Aku menangis di bahunya. Isak tangisku tidak bisa ditahan lagi. Aku sedikit menahannya agar Ibuku tidak mendengarnya. Emma hanya mampu mengelus-elus punggungku.
"Aku merindukannya. Aku ingin bertemu dengannya," aku berusaha mengucapkannya walau terdengar samar-samar.
Emma mengangguk-angguk seraya masih mengelus punggungku.
"Aku akan merelakan semuanya untuk melihat wajahnya lagi," aku menangis dengan sangat histeris di telinganya.
"Aku rela untuk merawatnya seumur hidupku," seraya terus menangis dan isak tangisku juga tak tertahan.
"Aku rela tidak menjadi juara satu lagi jika itu membuatnya sembuh," aku bersumpah seraya masih menangis.
Air mataku terus mengalir. Aku merasa mataku pedih tetapi air mata ini seolah takkan berhenti mengalir.
"Ia berkata akan bertumbuh tua bersamaku," aku terus menerus histeris.
"Apa yang ia lakukan di sana? Mengapa ia tak khawatirkan aku lagi?" aku bergumam karena tangisanku semakin deras.
Aku melepaskan pelukanku pada Emma. Aku duduk kembali di pinggirnya dan menghapus air mataku. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku dan masih menangis.
"Nicole," Emma mulai berbicara padaku.
"Selama aku berteman denganmu, aku tidak pernah melihatmu seperti ini. Aku tidak pernah merasa begitu sakit saat melihatmu seperti ini," Emma berkata dengan lembut kearahku.
Aku menurunkan tanganku dan menatapnya. Wajahku merah dan mataku masih tergenang air mata. Namun isak tangisku mulai mereda.
"Kamu benar. Aku benar-benar tidak bisa bertahan hidup tanpanya. Emma, aku takut ia takkan pernah muncul lagi di hadapanku," suaraku bergetar.
"Nicole, jika kamu sedang terpuruk, siapa orang yang muncul di kepalamu? Nama yang kamu sebut dalam hatimu?" Emma bertanya padaku.
"William. WILLIAM LUKE HAMMER," aku mengatakannya dengan penuh keyakinan.
KAMU SEDANG MEMBACA
WORDS of HIM (COMPLETE)
Romance#1Novel Indonesia; #1 Novel Romantis "Aku? Aku menyukainya sejak pertama kali bertemu dengannya. Aku terus menerus memikirkannya, sampai aku mengetahui semua mengenainya. Ia tidak lebih dari pria dingin, malas, tak sempurna, dan...yang sudah memilik...