Aku sedang menjadi perbincangan hangat di sekolah karena nilai ulanganku selalu sempurna. Selalu ada angka seratus di setiap kertas ulangan yang diberi nama Nicola Armani. Tak hanya pintar, aku juga baru saja mendapatkan satu set tas Prada dari relasi Ayahku yang asli Singapura. Bayangkan, betapa banyak orang di dunia ini ingin menjadi sepertiku? Mereka melihatku seolah aku sangatlah bahagia dan menjalani hidup tanpa paksaan. Tetapi, sebenarnya semua itu salah. Jika hidupku bahagia, tidak mungkin ada lingkaran hitam besar dibawah mataku. Tidak akan ada wajah tirus meskipun aku sudah makan tanpa batas.
Kadang, aku bertanya pada diriku sendiri. Sebenarnya, kehidupan seperti apa yang aku inginkan. Mungkin bertemu dengan pangeran berkuda putih kemudian kami menikah dan hidup bahagia selamanya. Tapi kenyataannya, populasi pangeran berkuda putih sudah langka. Kita tetap harus menjalani hidup yang keras demi sebongkah berlian.
Sampai sekarang, aku masih belum mengerti apa cita-citaku sebenarnya. Pekerjaan apa yang menghasilkan banyak uang dalam sekejap? Tidak ada. Kita harus tetap berjuang apapun yang terjadi. Oleh karena itu, hidup ini keras.
...
Hujan rintik-rintik membasahi jendela kamarku. Aku sedang termenung sendirian dan sejenak memberikan istirahat untuk diriku sendiri. Aku memandangi pemandangan yang indah dari jendela besar di kamarku. Kamarku memiliki dua lantai. Lantai pertama berisi kasur, meja belajar, dan kamar mandi. Sementara lantai dua berisi koleksi sepatu, tas, dan pakaianku. Boros, kata orang tuaku. Menurutku, tidak masalah seberapa boros pun asalkan kita bisa mengusahakan gaya hidup yang sama kelak.
Saat itu pula ponselku berdering di samping meja belajarku. Aku segera meraihnya. Terlihat sebuah telepon masuk di layar ponsel tersebut. Bu Gracia meneleponku. Aku memintanya untuk menghubungiku saat ia berhasil menemukan pria bernama belakang Malik tersebut. Apakah ia sudah menemukannya? Dengan jantung berdegup kencang tak karuan, aku berusaha mengangkatnya.
"Nicole," sapanya dengan hangat.
"Ya Bu?" tanyaku dengan perasaan sangat penasaran.
"Ibu sudah menemukan siapa pria yang kamu maksud. Tadi siang ia datang untuk meminta surat izin. Kau mau tahu?" tanyanya dengan nada yang membuatku semakin tak karuan.
"Siapa dia?" tanyaku dengan senyum yang secara tak sadar aku tunjukkan.
"Ia adalah pria kelas dua belas, sama sepertimu. Namanya adalah William Luke Hammer. Namun, ia rupanya selalu menamai dirinya sebagai William Malik karena dia orangnya sangat tertutup," ujarnya tanpa jeda yang berarti.
Aku terpaku. Apa? Aku tidak salah mendengarnya? Luke? Suasana hening dan jantungku semakin tak karuan. Tidak mungkin. Bagaimana mungkin dunia ini begitu sempit. Rupanya pria yang selama ini Venya gilai sama dengan pria yang membuatku terbayang akan dirinya.
"Luke...," gumamku di telepon.
"Ada apa dengan nama Luke Hammer?" tanyaku pada Bu Gracia, guru tata usaha itu sekali lagi dengan pikiran yang tak karuan.
"Hammer Corp. adalah perusahaan tekstil yang sangat besar, bukan? Oleh sebab itu, ia ingin agar semua orang menganggap ia orang biasa. Nama Malik adalah nama yang ia pilih," ujarnya sembari memelankan suaranya.
Benar. Mengapa aku baru menyadarinya. Perusahaan itu menjalin relasi baik dengan Ayahku. Selama ini, aku hanya menyangka nama Hammer dipilih karena itu adalah sebuah nama mobil yang sangat mahal. Ternyata William adalah anak dari komisaris perusahaan tersebut?
...
Semenjak aku mengetahuinya, cerita Venya menjadi berbeda di telingaku. Selama ini, pria yang kita sama-sama sukai, maksudku aku berusaha mengetahuinya adalah pria yang sama. Bukankah aku merasa obrolan kita berdua begitu bodoh. Lagipula, Venya tentu saja tidak pantas mendapatkan William Luke yang jelas-jelas tampan dan kaya. Bagiku, Lyn juga masih tak cukup untuk memenuhi standar William. Tentulah pria semacam itu harus mendapatkan wanita cantik, pintar, dan kaya sekaligus. Kau tahu, hanya Nicola Armani yang memenuhi kriteria seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
WORDS of HIM (COMPLETE)
Romance#1Novel Indonesia; #1 Novel Romantis "Aku? Aku menyukainya sejak pertama kali bertemu dengannya. Aku terus menerus memikirkannya, sampai aku mengetahui semua mengenainya. Ia tidak lebih dari pria dingin, malas, tak sempurna, dan...yang sudah memilik...