LUKA YANG MEMBEKAS - Part 19

2.7K 73 21
                                    

Sore ini, aku menghabiskan makan malamku di kawasan elite Hong-Kong. Dengan menu makanan italia, aku, seorang diri, memandangi keluar jendela. Restoran yang terletak di ketinggian kota dan alunan musik klasik nan merdu terus berkumandang. Aku meneguk segelas bir berwarna kemerahan yang pahit. Gelas bening tinggi dan langsing menghiasi mejaku. Meja bulat di pojok restoran. Tempat paling hangat dan tidak terkena pendingin ruangan. Aku mencari ide untuk novel keduaku. Novel pertamaku tergeletak di samping ponselku yang sedaritadi hening.

Halaman pertama novel tersebut, aku membukanya dengan perlahan. Tangan kecilku yang menonjolkan urat membukanya. Aku mendapati kalimat yang sangat kuhapal. Bagaimana bisa aku tidak hapal dengan kalimat yang sudah kubaca ribuan kali?

Ingatan boleh hilang. Luka akan selalu membekas. Jiwa boleh berpisah. Kenangan akan abadi. Itulah yang kita bawa kemanapun dengan siapapun kita kelak.

Aku tersenyum samar. Saat mengetahui cerita Emma, aku sadar. Mengapa selama ini aku tak pernah bisa jatuh cinta pada Derek walaupun pria itu sangat baik padaku. Ya, karena luka yang ia tuangkan untuk William seakan aku wakilkan. Tidak pernah sedetik pun di pikiranku terlintas untuk bersama Derek.

Pertemuanku dengan William benar-benar membuat diriku tidak fokus seharian ini. Aku lupa kemana aku harus pergi dan apa yang harus kubeli. Hanya jalan dari satu restoran ke restoran lain. Hujan rintik-rintik dan tentu saja aku tidak bisa pulang. Aku tidak membawa kendaraan pagi ini.

Aku mengacungkan tanganku sekali lagi dan meminta tambah satu gelas bir lagi. Sudah kelima kalinya sejak aku duduk di dalam. Setelah kusadari, hanya aku satu-satunya pengunjung restoran ini. Semuanya sudah pulang. Aku melihat jam tangan Hermesku dengan mata setengah tertutup. Aku menahan kantukku sebisanya. Sudah hampir setengah sebelas malam. Aku mendengar ponselku berbunyi. Tidak kuhiraukan. Ayolah, aku ingin malam ini benar-benar terasa.

Aku begitu lemas dan mengambil tasku dengan sekuat tenaga. Menggenggam ponselku hendak menelepon siapapun yang bisa membawakanku payung. Aku berjalan sempoyongan. Wajahku terasa begitu panas dan kakiku seolah tidak bisa kukendalikan. Pegawai restoran mengusirku. Mereka sudah mau tutup. Aku berusaha mengenakan sepatu hak tinggi itu dengan benar dan menyeret kaki keluar restoran. Pakaiaku mungkin sudah miring-miring dan tak berbentuk. Rambutku terasa kusut dan aku tak bisa melihat dengan jelas. Apalagi berpikir kemana jalan pulang.

Hujan mulai membasahi baju indahku. Rambutku mulai sehelai demi sehelai menjadi basah. Satu-satunya hal yang aku lakukan adalah berjalan lurus ke arah kanan. Lampu jalan menyoroti tubuhku. Aku merasa begitu kedinginan dan lelah. Kakiku benar-benar sakit dan tidak ada siapapun di sana untuk dimintai bantuan.

Aku berhenti di sebuah lampu jalan dekat dengan perempatan jalan. Aku menyandarkan tubuhku sejenak. Menundukkan kepalaku dan berusaha mengumpulkan kekuatanku untuk melangkah entah kemana. Aku yakin aku mabuk berat.

Sampai, tangan seorang pria menyentuh bahuku. Aku begitu takut karena aku pikir ia adalah preman jalanan dan aku tidak memiliki kekuatan untuk melawannya sekarang. Jika ia membawaku pergi malam ini, aku tidak tahu bagaimana kelangsungan hidupku. Entahlah.

Pria itu berusaha membuatku berdiri dengan tegak. Sampai aku sadar bahwa ada payung di atas kepalaku. Aku pikir hujan sudah mereda. Aku menengadah dengan kesadaran yang sangat terbatas. Menyipitkan mataku, menyentuh bahunya untuk bertumpu, dan terjatuh di tubuhnya. Aku tidak sanggup membuka mataku lagi. Aku rasa, pria itu menahan tubuhku.

...

Aku terbangun dengan selimut menutupi leherku. Mataku benar-benar perih. Kemudian, aku mendapati pakaianku nampaknya tidak berganti. Rambutku benar-benar kusut dan melihat Hana dengan wajah ingin menamparku berdiri di samping tempat tidurku.

WORDS of HIM (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang