LANGIT YANG SAMA DI DUNIA YANG BERBEDA - Part 6

3.2K 84 0
                                    

Aku hidup delapan belas tahun tanpa William dan baik-baik saja. Itu artinya, jika sekarang aku harus pergi darinya, tentu aku akan mudah beradaptasi. Aku dan dirinya berada di dunia yang berbeda. Meskipun kami menatap langit yang sama, aku dan dirinya memang hanya tidak bisa bersatu. William dikelilingi teman-teman yang biasa pulang malam, minum alkohol, dan saling menginap. Sementara aku dibesarkan di keluarga yang sangat mementingkan moral dan pelajaran. Itu alasannya mengapa hubungan antara kami harus banyak berkorban. Namun, yang menyukai lebih banyak, dialah yang terluka lebih banyak. Aku ingin tahu seberapa dalam lukanya agar bisa membandingkan dengan luka yang membekas di hatiku. Jika lukaku yang lebih besar dibanding yang dirinya, aku akan segera berhenti mencintainya.

Sudah tiga hari kami kembali sekolah seperti biasa. Pulang dari Jawa Timur dengan segudang hal yang tidak bisa kuceritakan pada siapapun. Bahkan Jericho takkan memiliki waktu untuk mendengarkannya.

Hari ini, kami akan menerima rapot ujian tengah semester yang biasa ditempel di papan pengumuman. Kami akan segera menghadapi perbaikan nilai dan pemanggilan orang tua. Aku segera berlari menyusup kerumunan dan sampai di baris paling depan. Papan pengumuman ini selalu paling laris dan paling rapuh. Aku menyipitkan mataku dan berusaha melihat kolom sosial. Aku membaca namaku tercetak dengan jelas di kolom paling atas kelas sosial.

Kemudian, aku melirik kearah kolom paling bawah kelas sosial, tertulislah nama Derek Brandon. Hal itu sudah biasa. Peringkatku selalu paling atas sementara Derek selalu paling akhir. Aku hendak memutar tubuhku dan keluar dari kerumunan tersebut. Namun, aku teringat nilai William. Aku segera mencari kolom sains. Sudah halaman kedua, nama William masih belum terlihat. Ternyata, William berada di halaman ketiga dari empat halaman. Wiliam Luke Hammer memperoleh peringkat hampir ke tujuh puluh. Aku melihat nilai biologinya dan mendapati nilainya hanya tiga puluh lima.

Setelah keluar dari kerumunan tersebut, aku memutuskan untuk makan siang sendirian di taman sekolah yang amat sepi. Karena Venya masih tidak mau berbicara denganku, aku harus makan sendirian. Tetapi itu tidak masalah. Lagipula, benar juga, sebentar lagi sudah mau lulus. Aku duduk dengan manis di kursi taman seraya menikmati bekal yang selalu kubawa.

Kadang, aku berpikir apa poin dari kehidupan yang seperti ini. Aku berjuang keras demi mendapatkan peringkat pertama, saat semua orang mungkin melupakannya satu minggu setelah wisuda. Aku mengorbankan semua waktuku untuk itu dan aku kehilangan semuanya selain namaku dipajang di paling atas, saat mungkin hampir semua orang lebih tertarik dengan peringkat yang paling rendah.

Saat aku masih merenungkannya, tiba-tiba aku mendengar suara William memanggilku. Aku yakin itu hanyalah sugesti dalam pikiranku. Mungkin karena aku terlalu merindukannya, aku sampai mendengar suaranya. Pastilah pria itu selalu bersenang-senang bersama teman-temannya saat jam istirahat. Namun, ternyata aku melihat kehadiran William yang berjalan santai kearahku.

Ternyata aku memang benar mendengar suaranya. Ia tersenyum padaku dan memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya. Itulah alasan mengapa aku bisa menyukainya. Karena ia hadir saat aku membutuhkannya.

"Sudah tak aneh jika nama Nicole selalu terpasang di paling depan," pria itu berkata meskipun tidak menatapku, ia berkata tepat di depan diriku.

Aku hanya tersenyum. Rupanya ada yang mengingatnya. Mungkin inilah poin dari kehidupanku.

"Mari belajar bersama," aku mengucapkannya dengan ragu-ragu.

"Tak perlu, aku benar-benar sudah tidak peduli pada nilaiku," pria itu menoleh dan tersenyum kearahku.

Dunia yang berbeda, gumamku sembari melanjutkan makan siangku.

"Kau baik-baik saja?" William mulai terdengar cemas padaku dan duduk di sampingku. Ia menatapku dengan sungguh-sungguh.

WORDS of HIM (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang