Aku membuka surat William. Membacanya dengan perlahan. Tulisan yang buruk, gumamku seraya tak sanggup menahan senyum melebar di wajahku.
Aku masih selalu mencintaimu, Nicole. Tunggu aku datang kepadamu dan kita bisa bersama kembali.
Baiklah, jantungku sudah berdegup dengan sangat kencang. Kemudian, ia melompat beberapa baris dan melanjutkan kalimatnya.
Kalau aku hanya bisa menjadi temanmu
Kalau hanya itu tempat untukku dihatimu
Kan kuterima itu dengan bangga
Kubuktikan diriku yang terbaik untuk menjalaninyaKan kuberikan kepadamu bahuku untuk tempat mengadu
Kan kutunjukkan betapa pedulinya aku padamu
Aku kan selalu siap saat kau membutuhkanku
Aku akan selalu berada didekatmuKalau aku hanya bisa menjadi temanmu
Yang mendengar saat kau menangis
Kan kuterima itu dengan bangga
Kan kujalani dengan suka citaCintaku padamu lebih dalam
Daripada yang akan pernah kau sadari
Tanpa mengharapkan kau mencintaiku
Untuk itu mesti ku biarkan kau berlaluKau perlu waktu untuk menemukan tujuanmu
Kau perlu waktu untuk merenungkan pikiranmu
Tapi, saat perjalananmu berakhir
Dan jalur yang kau tempuh selesai sudahIngatlah aku sahabat baikmu
Yang mencintaimu sejak awal mulaAku membacanya. Menutup mulutku yang terkejut dengan tanganku. Mataku terbelalak. Puisi Kahlil Gibran kesukaanku menjadi pilihannya.
Nicole, aku tak pandai menulis sepertimu. Juga tak pandai membuat kalimat indah seperti bagaimana kamu selalu melakukannya. Puisi "Dengan Bangga" ini semoga bisa mewakili semua perasaanku terhadapmu.
William Hammer
Air mataku mengalir membasahi pipiku. Aku tak tahu harus mengatakan ini pada siapa. Siapa yang akan memelukku seraya menepuk pundakku saat sekarang aku benar-benar ingin menangis? Aku berusaha keras mengingat semuanya. Namun, satu pun tidak nampak. Hanya lontaran-lontaran kalimat dalam puisi itu yang berputar-putar dalam otakku.
Aku membaringkan tubuhku dan berusaha tertidur.
...
Pagi ini aku terbangun dengan suster yang sudah ada di hadapan wajahku. Ia segera tersenyum saat melihat aku membuka mataku. Kemudian,
"Hari ini Anda mulai melakukan terapi," ujar suster tersebut seraya membantuku untuk duduk di atas tempat tidur.
"Terapi?" spontan aku hanya mengulang perkataanya.
"Cara Anda menggerakkan saraf-saraf yang tidak terpakai selama tiga bulan," jelasnya singkat dan menyodorkanku makan pagi.
Aku menatapnya, bubur tawar dan roti gandum polos serta susu kedelai. Aku menelan ludahku. Apakah hanya ini yang boleh aku makan?
Aku baru saja akan memasukkan makanan itu ke dalam mulutku, saat Derek datang dengan setangkai bunga di tangannya.
Derek menaruhnya di meja samping tempat tidurku. Ia segera duduk di sampingku. Mengambil sendok dan meniup buburku dengan sangat perlahan. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain memenuhi kepalaku dengan banyak pertanyaan.
"Aku membawakan bunga kesukaanmu," ia melirikkan matanya ke arah bunga mawar merah muda.
"Asal kau tahu, aku tidak suka bunga mawar," jawabku dengan datar padanya.
Derek diam dan aku mendapati ekspresi terkejutnya meskipun hanya beberapa detik.
"Derek...," aku jadi teringat ada hal penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
WORDS of HIM (COMPLETE)
Romance#1Novel Indonesia; #1 Novel Romantis "Aku? Aku menyukainya sejak pertama kali bertemu dengannya. Aku terus menerus memikirkannya, sampai aku mengetahui semua mengenainya. Ia tidak lebih dari pria dingin, malas, tak sempurna, dan...yang sudah memilik...