Aku memeluknya erat. Suatu hari sebelum pernikahan kami, aku hendak mengatakannya. Aku dengan berat menatap wajahnya. Entah ke berapa kali aku menatapnya seperti ini. Tetapi, aku hanya tidak pernah bosan melakukannya. Aku hanya ingin ia tahu apa yang sebenarnya ada dalam benakku.
"William," aku mengatakannya seolah aku akan melamarnya, malah.
Pria itu tersenyum padaku dengan balutan baju hangat abu-abunya.
"Aku ingin kamu tahu sesuatu. Jericho mengatakan semuanya padaku mengenai keadaanmu saat di Hong-Kong. Jangan salahkan dia, itu hakku mengetahuinya," aku mengucapkannya sebagai kalimat pembuka.
"Tidak bisakah kamu jujur padaku? Mengapa? Kamu takut aku akan lari darimu? Tidak mau menemuimu lagi hanya karena kamu masih harus melewati banyak pengobatan? Harus berapa kali kukatakan bahwa aku tidak akan melakukannya?" aku mengatakannya dan menahan air mataku.
Pria itu mengelus rambutku dengan lembut.
"Aku hanya ingin kita bahagia seperti pasangan yang lain. Tanpa ada ketakutan, mereka melangkah karena keyakinan akan tumbuh tua bersama. Keyakinan dan jaminan itu yang tidak pernah aku berikan padamu. Izinkan aku untuk satu atau dua kali meyakinkanmu itu. Aku tahu Nicola Armani yang cantik ini tidak akan melakukannya. Hanya saja, jika kamu mencintaiku seperti aku baik-baik saja, aku ingin membuatmu merasa normal. Maksudku, sejenak kita lupakan masalah itu, bisa?" tanyanya padaku dengan lembut dan tersenyum.
Hal itu membuat air mataku mengalir membasahi tangannya yang menggenggam tanganku.
"Terimakasih William. Ternyata kamu tidak hanya berusaha untuk bertahan. Tetapi juga, untuk menjadi biasa-biasa saja. Kamu inginkan aku merasakan apa rasanya mencintai pria normal yang bisa memberikan asuransi seumur hidupku. Kamu orangnya. Tetapi, izinkan aku mencintaimu apa adanya karena memang selalu seperti itu kenyataannya. Menjadi wanita yang menemani kamu di saat apapun. Karena cukup aku meninggalkanmu delapan tahun. Tidak akan ada lagi perpisahan," aku mengucapkannya dengan senyum samar.
Pria itu diam dan mengarahkan tangan kanannya menghapus derasnya air mata di pipi kananku.
"Apapun yang terjadi padamu, aku tidak akan meninggalkanmu. Kita semua akan meninggal dan menderita, bukankah begitu? Kita semua akan mendapati diri kita tidak sempurna dan berusaha menjadi yang terbaik di hadapan satu sama lain. Semua orang pun seperti itu. Kita semua pada akhirnya sadar bahwa kesempurnaan bukanlah indikator bahagia. Kita tidak akan memiliki satu sama lain selamanya. Tetapi kita yakin bahwa kita, satu sama lain, begitu mencintai," aku melanjutkan kalimatku dengan penuh keyakinan walau suara masih terdengar serak.
Pria itu mengangguk. Ia berdeham untuk membersihkan tenggorokannya, "Untuk Nicola Armani yang amat aku sayangi, terimakasih telah menjadi perempuan yang mencintaiku dan mengatakan apapun yang terjadi padaku tidak akan pernah pergi meninggalkanku. Demikian pula dengan diriku. Prioritas nomor satu dalam hidupku adalah membahagiakan dirimu. Nomor dua adalah menyediakan seluruh waktu dan tenagaku untukmu. Nomor tiga adalah memastikan kamu masih mencintaiku karena aku yakin aku tidak mampu mengubah perasaanku. Nomor empat adalah menonton film hantu setidaknya satu kali dalam seminggu denganmu karena kamu begitu menyukainya. Nomor lima adalah meneleponmu setiap jam jika aku ada tugas di luar negeri dan saat itu kamu tidak bisa ikut. Bagaimana Nona? Sudah cukup?" ia tersenyum padaku dan tertawa santai.
Aku hanya tertegun mendengarnya. Kemudian, aku mencium pipinya dan memeluknya dengan erat, "Kamu tidak berniat memprioritaskan dirimu, huh?" tanyaku padanya dengan berbisik lembut padanya.
Aku merasa pria itu menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Satu detik pun tidak terpikirkan hal itu olehku," tegasnya.
...
Inilah akhir dari tragedi itu. Inilah akhir dari kisah yang selalu diisi air mata. Berakhir dengan begitu banyak kebahagiaan saat ini. Aku sangat bersyukur untuk pernah bertemu dengannya diantara milyaran manusia.
"Terimakasih telah memberikanku jaminan aku akan bahagia. Terimakasih telah meyakinkanku bahwa aku tidak akan menyesal memilihnya di kehidupan sekarang.
Aku akan pastikan padanya bahwa aku akan menemuinya kembali di kehidupan berikutnya.
Untuk pria yang berada di dimensi paralel. Untuk pria yang begitu spesial untukku. Untuk pria yang begitu aku cintai, seutuh jiwaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
WORDS of HIM (COMPLETE)
Romance#1Novel Indonesia; #1 Novel Romantis "Aku? Aku menyukainya sejak pertama kali bertemu dengannya. Aku terus menerus memikirkannya, sampai aku mengetahui semua mengenainya. Ia tidak lebih dari pria dingin, malas, tak sempurna, dan...yang sudah memilik...