Wanita lebih berharga daripada pria. Ketika pria memberikan rumah, wanita memberikan keluarga. Ketika pria memberikan senyuman, wanita memberikan hatinya.
Aku menutup kalimatku. Aku memiliki kebiasaan untuk terus menerus melukiskan sesuatu yang muncul di otakku di akhir bab suatu pelajaran. Setelah selesai mempelajari geografi, aku menuliskannya di halaman terakhir bab tersebut.
Aku membaringkan tubuhku diatas tempat tidurku. Membayangkan William. Entah mengapa, hanya ia satu-satunya hal yang kutunggu saat selesai belajar. Bagaimana jika kita tidak akan bertemu lagi? Bagaimana jika sesungguhnya aku benar-benar tidak bisa melupakan William? Ia tidak lebih dari pria pendiam dan tidak menarik serta membosankan. Ia tidak lebih dari seorang pria berparas menarik yang tidak memiliki motivasi untuk hidup. Tetapi, pria itu benar. Sekarang, aku membutuhkan Janette di sampingku. Aku membutuhkannya untuk setia mendengarkanku. Ia takkan berkomentar ataupun menghina perkataanku. Ia akan diam dan mengangguk seraya mendengarkanku. Apakah mungkin, sekarang Janette juga sedang mendengar keluh kesah William?
Tak lama, Emma meneleponku.
"Nicole, apakah kamu sedang belajar?" tanyanya dengan nada santai padaku. Dulu, ia selalu meneleponku saat aku belajar. Mungkin hal itu membuatnya jarang meneleponku lagi.
"Tidak. Ada apa?" aku menjawabnya tanpa berpikir.
"Hans mengirimkan hadiah pagi ini," mendadak, nada bicaranya menjadi begitu lesu dan sedih. Seperti apapun Emma berusaha bahagia dengan tunangannya, ia tetap menyukai Hans. Namun, Hans memang bukan pria bertanggung jawab dan tidak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya bisa bersantai seraya menonton acara kesukaannya.
"Hadiah?" aku berusaha memancingnya untuk berbicara.
"Bunga mawar. Harganya tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah, namun makna dibalik itu yang membuatku menangis. Ia menuliskan sebuah surat juga," Emma menarik napas panjangnya.
"Ia mengatakan agar aku bisa bahagia. Dengan Reagan ataupun pria lain yang dianggap layak berjalan bersamaku di pelaminan. Ia juga meminta maaf karena tidak bisa menjadi pria itu," Emma terdengar menahan isak tangisnya.
Tak lama, ia menutup teleponnya.
Dulu, aku tak terlalu peduli dan mengerti apa yang dirasakan oleh Emma. Dulu, aku hanya berpikir bahwa Derek adalah pria idaman. Jujur saja, wanita mana yang tidak kagum dengan Derek? Ia adalah manusia terkaya yang pernah kukenal di dunia. Tak peduli apapun selain pria kaya yang bergengsi untuk dibawa kemanapun. Namun, sekarang aku sadar bahwa ada hal yang lebih penting daripada gengsi itu sendiri. Cinta. Dimana cinta tidak bisa dibeli. Aku menyukai William karena ia adalah sosok yang ideal untukku. Karena ia adalah sosok yang membuatku merasa nyaman dan mampu bertahan.
Ia bukanlah pria yang selama ini aku idamkan. Tetapi, ia pria yang sekarang aku inginkan.
Aku membulak-balik halaman buku Words of Him yang sudah cukup tebal. Sesekali aku tersenyum, sedih, dan marah padanya. Itu tulisan diriku sendiri. Namun seolah aku merasa hal itu benar-benar nyata. Aku berjanji akan menjaga buku tersebut. Sehingga, aku tidak ada celah untuk melupakannya. Jika saja aku gila dan bisa melupakannya, setidaknya buku ini takkan hilang.
...
Akhirnya, aku menemukan cita-citaku sesungguhnya. Menjadi seorang penulis novel. Itu jelas-jelas pekerjaan yang cocok untukku. Setelah merenungkannya selama berminggu-minggu aku menemukan pekerjaan impianku. Aku juga menargetkan bahwa buku Words of Him ini bisa menjadi novel perdanaku. Agak aneh, tetapi isinya memang hanya bercerita mengenai perasaanku pada William. Aku juga yakin bahwa novelku yang berikutnya pasti mengenai William. Pria itu datang secara tiba-tiba dalam hidupku, tetapi ketidaksengajaannya itu mengubah hidupku selamanya. Selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
WORDS of HIM (COMPLETE)
Romance#1Novel Indonesia; #1 Novel Romantis "Aku? Aku menyukainya sejak pertama kali bertemu dengannya. Aku terus menerus memikirkannya, sampai aku mengetahui semua mengenainya. Ia tidak lebih dari pria dingin, malas, tak sempurna, dan...yang sudah memilik...