Kami masih saling bertatapan dan suasana semakin canggung. Jariku masih menahan tombol buka di pintu lift tersebut. Takkan kubiarkan pintu tertutup. Pria itu menyebut namaku, walau sekali dan sangat pelan.
"Ada yang ingin kamu katakan?" aku menanyakan hal demikian kearahnya setelah melihat bahwa pria itu tak berniat untuk memulai percakapan.
Pria itu diam. Seluruh kalimat hanya tertahan di mulutnya, aku bisa melihat itu. Ia berdiri dengan gelisah seolah ia akan memulai suatu pertandingan. Ia hanya diam.
"Bagaimana denganmu? Ada yang ingin kamu katakan?" pria itu berakhir dengan membalikkan pertanyaanku.
Ada. Aku ingin menanyakan semuanya padamu. Mengapa kamu mengatakan hal itu kepadaku? Apakah kamu benar-benar menyelamatkanku kemarin? Apakah kamu membuat janji pada Lyn untuk meninggalkanku? Apakah kamu membela Lyn di hadapan kedua orang tuaku? Mengapa kamu bersikeras ingin pergi dariku? Mengapa sekarang, kamu bertindak sebagai pecundang yang tidak bisa mengatakan apa-apa di hadapanku?
Aku menarik napas panjangku. Aku sudah selesai mengatakannya dalam hatiku.
"Tidak ada," aku menjawabnya dengan singkat dan melepaskan jariku sehingga pintu lift tertutup dengan sendirinya.
Aku berdiri dengan lemas di dalam lift seraya memanggul ransel berat di punggungku. Aku dan dia memiliki banyak kesamaan. Kami sama-sama menahan ucapan kami sampai di mulut. Kami membiarkan otak kami bekerja keras memikirkannya sendiri daripada membiarkan hati kami terluka untuk mendengar jawabannya. Aku tahu ini salah. Aku terus bertanya dan membuat kesimpulan sendiri. Aku memang takut jika jawaban yang ia berikan tidak seperti apa yang kuharapkan.
...
Saat aku sampai di kelas, Derek sudah duduk manis seolah ia sedang menungguku. Tatapannya serius sekali. Itu membuatku ragu untuk menghampirinya. Dengan cepat, aku segera menaruh tasku diatas kursi.
"Kemarin, aku tidak mengerti apa yang kamu lakukan," pria itu menatapku seolah aku melakukan kesalahan yang fatal.
"Hal itu membuatku sangat kesal," Derek melanjutkan kalimatnya dengan nada yang datar.
Aku menahan amarahku padanya. Mengapa pria itu harus terus mengurus kehidupanku? Bodohnya lagi, mengapa kedua orang tuaku sangat menyukainya? Hanya karena ia naik Rolls Royce, bukan berarti ia bisa melarangku untuk ini dan itu.
"Tentu saja kamu kesal. Karena kamu kalah dalam menolongku? Gerakanmu terlalu lambat sehingga pria lain yang membawaku ke rumah," aku menyampaikannya pada Derek dengan nada yang kesal.
Derek memandangiku dengan tatapan yang agak menyebalkan. Aku tak tahu semenjak kami hubungan kami menjadi tidak jelas seperti ini. Mungkin semenjak Derek menyukaiku dan aku tidak menyukainya. Awalnya, aku sempat berpikir bahwa Derek adalah pria yang tepat untukku. Pandangan itu berubah setelah satu bulan kami berada di satu kelas yang sama. Seluruh sifat egois, sombong, dan malasnya terlihat.
Saat pertama, ditambah saat aku mengetahui bahwa Derek mengendarai Rolls Royce ke sekolah, aku seolah bersaing dengan seluruh wanita di kelas untuk menarik perhatian Derek. Namun, aku menyukai cowok pintar dan humoris. Derek sangatlah malas dan peringkatnya selalu paling akhir. Ia juga memiliki ucapan yang dingin dan terkadang kasar.
...
Saat malam hari, aku sedang berusaha membaca kalimat demi kalimat di buku geografi. Meskipun aku benar-benar lelah, aku tetap memaksakan untuk duduk dan membaca sedikit lagi. Sampai, ponselku mulai bergetar. Sebuah pesan masuk.
Jericho – 20.30
Nicole, kamu sudah baca mengenai Jimmy Hammer?
Aku membacanya. Jimmy Hammer? Oh tentu saja. Tentu saja aku tidak akan mempedulikannya. Itu bukan urusanku lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
WORDS of HIM (COMPLETE)
Romance#1Novel Indonesia; #1 Novel Romantis "Aku? Aku menyukainya sejak pertama kali bertemu dengannya. Aku terus menerus memikirkannya, sampai aku mengetahui semua mengenainya. Ia tidak lebih dari pria dingin, malas, tak sempurna, dan...yang sudah memilik...