Bab 12. Ting Tong! Si Nona Berbaju Hijau

2.5K 44 1
                                    

Anak dara itu melengak, ia pegang pundak pemuda itu dan diputarnya ke kanan dan ke kiri, ia mengamat-amati pemuda itu sejenak di bawah cahaya rembulan. Tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Engkoh Thian, sungguh kau pintar berkelakar. Ucapanmu barusan sungguh membuat kaget padamu, kusangka benar-benar telah salah mengenali kau. Hayolah, mari kita berangkat."

Segera ia tarik tangan Ciok Boh-thian dan mendahului bertindak ke depan.

"Ti ... tidak, aku tidak berkelakar," seru Ciok Boh-thian dengan gugup. "Kau benar-benar telah salah mengenali diriku. Coba pikir, sedangkan namamu saja aku tidak tahu."

Mendadak si anak dara menghentikan langkahnya, katanya dengan tertawa genit, "Ya, sudahlah, dasar kepala batu, tidak mau mengalah, biarlah aku tunduk padamu. Nah, dengarkan aku she Ting bersama Tong, biasanya kau suka panggil aku ting-tong, ting-tong, terkadang kau pun panggil aku ting-ting-tong-tong Sekarang sudah jelas, bukan?"

Habis berkata segera ia putar tubuh dan berlari ke depan secepat terbang.

Karena diseret si anak dara, tanpa kuasa Ciok Boh-thian ikut berlari juga, semula ia hampir keserimpet, untung tidak sampai jatuh. Akhirnya ia dapat membuang langkah dan mengikuti lari si anak dara dengan sama cepatnya. Bermula napasnya menjadi tersengal-sengal tapi lama-kelamaan tenaga dalamnya mulai merata, kakinya makin lama makin enteng, sedikit pun tidak terasa payah lagi.

Entah sudah berlari berapa jauhnya, tiba-tiba tertampak pantulan cahaya air mengambang di depan, nyata mereka telah sampai di tepi sebuah sungai. Segera Ting Tong menarik tangan Ciok Boh-thian dan melompat perlahan ke depan, menghinggap di haluan sebuah perahu kecil yang tertambat di tepi sungai.

Karena Ciok Boh-thian belum dapat menggunakan tenaga dalamnya untuk dikerahkan sebagai Ginkang, maka lompatannya ke atas perahu itu seperti orang biasa saja, dengan antap menancapkan kaki di haluan perahu sehingga perahu tertekan dan air muncrat.

"Ai, apakah kau ingin menenggelamkan perahu ini?" jerit Ting Tong dengan tertawa.

Segera ia melepaskan tambatan perahu, ia angkat dengan galah bambu, sekali dorong dengan galahnya, dengan cepat perahu itu lantas meluncur ke tengah sungai.

Boh-thian melihat kedua tepi sungai itu banyak tumbuh pohon Yangliu, dari jauh tertampak beberapa buah rumah penduduk, malam sunyi, bulan terang, sayup-sayup hidungnya mendengus bau harum yang memabukkan, entah bau harum bunga yang tumbuh di tepi sungai atau bau wangi yang timbul dari badan Ting Tong?

Perahu itu meluncur dengan pesat di tengah sungai, sesudah membelok beberapa kali, setiba di bawah sebuah jembatan batu, Ting Tong lantas menambat perahunya di batang pohon Yangliu. Pohon-pohon Yangliu di sekitar jembatan itu tumbuh sangat rindang sehingga jembatan batu yang kecil itu hampir tertutup rapat. Sinar bulan menembus remang-remang melalui celah-celah daun pohon, perahu yang berlabuh itu menjadi mirip bermukim di dalam sebuah rumah alam yang kecil.

"Sungguh baik sekali tempat ini, andai kata siang hari juga orang mungkin tidak menyangka bahwa di sini berlabuh sebuah perahu kecil," puji Boh-thian.

"Mengapa baru sekarang kau memuji tempat ini?" sahut Ting Tong dengan tertawa.

Segera anak dara itu membuka peti perahu, ia mengeluarkan sehelai tikar dan dibentang di haluan perahu, dikeluarkannya dua pasang sumpit dan mangkuk serta satu poci arak, katanya dengan tertawa, "Silakan duduk dan minum arak."

Kemudian ia mengeluarkan lagi beberapa macam makanan pengiring arak seperti kacang goreng, dendeng dan lain-lain.

Ketika anak dara itu baru menuangkan arak, Ciok Boh-thian lantas membau harum arak yang menusuk hidung. Sudah pernah dia mendengar cerita ibunya tentang minum arak, tapi macam apakah "arak" itu selamanya belum pernah dilihat dan dicobanya. Cia Yan-khek juga tidak suka minum arak, sebab itulah ketika tinggal di Mo-thian-kay juga tidak pernah kenal arak.

Medali Wasiat (Xia Ke Xing/Ode To Gallantry) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang