Bab 14. Ciok Boh-thian Ditawan oleh Pek Ban-kiam

2.4K 42 0
                                    

Boh-thian tambah bingung melihat kemarahan orang-orang Swat-san-pay itu, pikirnya, "Apa yang kukatakan adalah bermaksud baik, mengapa kalian marah padaku malah?"

Dalam bingungnya ia lantas berpaling kepada Ting Tong dan bertanya, "He, Ting-ting Ting-tong, apakah barusan aku telah salah omong?"

Ting Tong tertawa, sahutnya "Entahlah, aku pun tidak tahu. Barangkali nona Hoa tidak laku dengan harga baik seperti katamu."

Boh-thian manggut-manggut, katanya, "Ya, andaikan nona Hoa tidak begitu berharga dan harus dijual murah, toh hal demikian tidak perlu di buat marah?"

Seketika orang-orang Tiang-lok-pang tertawa gempar mendengar ucapan itu, mereka menduga sang Pangcu pasti sudah ambil keputusan akan melabrak pihak Swat-san-pay, maka sengaja menggunakan kata-kata demikian untuk mengolok-oloknya. Segera ada seorang menanggapi, "Ya, jika terlalu mahal tentu kita tidak mampu membelinya. Bila agak murah sedikit, hehe, tentu kita dapat ...."

"Cring", mendadak terdengar suara nyaring disertai berkelebatnya sinar pedang. Kiranya Ong Ban-jim sudah tak dapat menahan rasa murkanya, pedangnya lantas menusuk ke dada Ciok Boh-thian. Untung Pek Ban-kiam keburu melolos pedang juga dan mengetok ke batang pedang sang Sute sehingga senjata Ong Ban-jim itu hampir-hampir terlepas dari cekalan, tangannya sampai pegal tergetar. Dan dengan sendirinya tusukan itu hanya mencapai setengah jalan saja dan tak dapat diteruskan.

Berbareng Pek Ban-kiam juga lantas membentak, "Sakit hati kita kepada orang ini sedalam lautan, mana boleh dibereskan dengan sekali tusuk saja?"

"Sret", ia masukkan kembali pedangnya, lalu berkata kepada Boh-thian dengan suara geram, "Nah, Ciok-pangcu, sesungguhnya kau kenal padaku atau tidak?"

Boh-thian manggut-manggut, sahutnya, "Ya, aku kenal kau. Bukankah kau adalah Gi-han-se-pak Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay?"

"Bagus jika kau masih kenal padaku," ujar Ban-kiam. "Nah apa yang pernah kau lakukan tentunya akan kau akui, bukan?"

"Apa yang pernah kulakukan sudah tentu aku mengakui," sahut Boh-thian.

"Baik, dan sekarang aku ingin tanya padamu. Ketika berada di Leng-siau-sia dahulu siapa namamu?"

"Ketika di Leng-siau-sia?" Boh-thian menegas sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Kapan sih aku pernah ke sana? O, ya, tempo dulu waktu aku turun gunung untuk mencari ibu dan si kuning, aku pernah menjelajahi beberapa buah kota, aku pun tidak tahu apa nama kota-kota itu, besar kemungkinan di antaranya ada sebuah kota yang bernama Leng-siau-sia."

"Kau tidak perlu melantur-lantur dan berlagak pilon," semprot Pek Ban-kiam. "Hendaklah bicara terus terang saja, namun aslimu toh bukan Ciok Boh-thian."

"Benar, benar! Memangnya aku bukan Ciok Boh-thian," seru Boh-thian dengan tersenyum. "Tapi merekalah yang telah salah mengenali diriku. Ya, betapa pun memang Pek-suhu lebih pintar, sekali tebak lantas tahu bahwa aku bukan Ciok Boh-thian."

"Bagus! Dan siapakah namamu yang asli, cobalah katakan biar didengar oleh semua yang hadir di sini ini," ujar Ban-kiam.

"Dia bernama apa? Hm, dia bernama Kau-cap-ceng!" sela Ong Ban-jim dengan makiannya.

Sekali ini bergilir orang-orang Tiang-lok-pang yang serentak berbangkit dengan marah dan sama melolos senjata. Namun Ong Ban-jim tidak menjadi gentar, ia sudah bertekad biarpun dicincang oleh orang-orang Tiang-lok-pang juga tiada takkan peduli asalkan dapat mencaci maki lebih dulu si Kau-cap-ceng (anak anjing) ini.

Tak terduga bahwa makiannya itu tidak membikin murka Ciok Boh-thian, sebaliknya pemuda itu malah bertepuk tangan dan bergelak tertawa, serunya, "Ya, benar, benar, sedikit pun tidak salah, memangnya aku ini bernama Kau-cap-ceng, entah dari mana kau mendapat tahu?"

Medali Wasiat (Xia Ke Xing/Ode To Gallantry) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang