Bab 23. Pek Ban-kiam Dikerubuti Ting Put-sam dan Ting Put-si

2.5K 37 0
                                    

"Ohh, ti ... tidak! Baik sekali, ba ... bagus sekali!" sahut Boh-thian dengan tergagap.

"Di mana letak kebagusannya?" tanya A Siu.

"Ini ... ini ...." Boh-thian menjadi susah menjawab, mukanya berubah merah.

"Ya, tahulah aku," omel A Siu. "Engkau adalah murid ahli waris Kim-oh-pay, sudah tentu kau sama sekali memandang sebelah mata dengan sedikit permainan cakar kucing yang kutunjukkan ini."

"Ohh, ma ... maaf, aku memandangi kau karena sangat memesonakan, maka aku menjadi lupa kepada permainan golokmu," sahut Boh-thian dengan gugup. "Nona A Siu, sukalah engkau memainkannya sekali lagi."

"Tidak, tidak mau lagi!" A Siu pura-pura marah.

"Aku mohon dengan sangat, sukalah kau main sekali lagi," pinta Boh-thian sambil memberi hormat.

"Baik, aku main satu kali lagi, tapi tidak kuat untuk main ketiga kalinya," kata A Siu dengan tersenyum. Segera ia membuka langkah dan ayun goloknya lagi membacok dan menebas seperti tadi, ia ulangi pula jurus itu dengan perlahan.

Sekali ini Boh-thian benar-benar memerhatikan dengan sungguh-sungguh, maka dapatlah dia ingat dengan baik caranya, gayanya, langkah, dan gerakan-gerakannya.

Lalu A Siu memberi pesan pula bilamana Boh-thian harus tetap mengerahkan tenaga untuk menjaga-jaga kalau pada saat terakhir mendadak diserang musuh, untuk ini Boh-thian mengingatnya dengan baik pula. Lalu ia mengambil golok dari si nona dan memainkan jurus itu menurut apa yang telah dipahaminya.

Melihat pemuda itu sekali belajar lantas bisa, sungguh A Siu sangat girang, pujinya, "Kau sungguh pintar, Toako, hanya memerhatikan sebentar saja kau sudah dapat memahaminya. Jurus serangan ini bernama 'Pang-kau-cik-kik' (mengetok dari samping dan memukul dari sisi), ke mana golokmu tiba, ke situlah tenaga dalam harus dikerahkan."

"Jurus serangan ini sungguh sangat bagus, tiba-tiba di kanan, tahu-tahu di kiri, mendadak ke atas, tahu-tahu ke bawah lagi sehingga musuh susah untuk menangkis," ujar Boh-thian.

"Letak kebagusan jurus serangan ini melainkan berguna untuk mengampuni pihak lawan saja," kata A Siu. "Hendaklah tahu, sekali jago silat sudah bertanding, sekali senjata beradu, maka sering kali harus mengadu tenaga dalam, sesungguhnya itu adalah pertarungan yang sangat berbahaya, yang kalah andaikan tidak mati juga pasti akan terluka parah. Tidak perlu dibicarakan lagi apabila kau memang tidak dapat melawan musuh, tapi seumpama kau lebih lihai daripada lawanmu, kau ada maksud takkan melukai lawan dan ingin menghentikan pertarungan sengit dengan sama-sama tidak cedera, hal ini sesungguhnya teramat sukar. Maka dari itulah, jurus 'Pang-kau-cik-kik' ini adalah sangat bagus dan serbaguna, jurus ini takkan melukai orang, tapi juga tak bisa dilukai orang."

Melihat nona itu bersandar di pohon dan tampaknya sangat lelah, segera Boh-thian berkata, "Duduklah, agaknya engkau sangat lelah."

Perlahan-lahan A Siu berjongkok dan duduk bersila di bawah pohon, kemudian ia tanya, "Kau sudah mendengarkan uraianku barusan?"

"Sudah," sahut Boh-thian. "Jurus ini bernama 'Pang-kau-cik-kik' apa ya?"

Sekali ini bukanlah dia tidak memerhatikan uraian A Siu tadi, tapi ia benar-benar susah mengucapkan nama jurus serangan itu. Maklum, nama itu adalah kalimat ungkapan tertentu, karena dia tidak pernah sekolah, dengan sendirinya ia tidak paham dan susah mengucapkan.

"Ha, kembali kau tidak memerhatikan uraianku lagi," omel A Siu. "Sudahlah, kau berpaling ke sana dan jangan memandang padaku lagi."

Kata-kata si nona ini sebenarnya hanya untuk bergurau saja. Tak tersangka Boh-thian dasarnya memang polos tanpa mempunyai pikiran apa-apa, ia benar-benar berpaling dan tak berani memandangnya lagi.

Medali Wasiat (Xia Ke Xing/Ode To Gallantry) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang