Sesudah Boh-thian melompat ke daratan, laki-laki itu menambat perahunya pada sebuah batu karang. Kemudian ia mengeluarkan sebuah kulit keong, "Tut, tut, tuuuut!" ia meniup kulit keong itu beberapa kali. Tidak lama terlihatlah dari balik bukit sana berlari mendatangi empat orang laki-laki berseragam kuning. Sesudah berhadapan dengan Boh-thian mereka lantas memberi hormat dan menyapa, "Tocu sedang menantikan kedatangan para tamu agung, silakan Ciok-pangcu ikut kepada hamba!"
Mestinya Boh-thian ingin mencari tahu keadaan Pek Cu-cay, tapi orang-orang itu ternyata tidak dapat memberi keterangan apa-apa. Terpaksa Boh-thian mengikuti seorang laki-laki baju kuning itu ke depan, laki-laki yang lain lantas mengiringi dari belakang.
Setelah mendaki bukit, ternyata kedua samping adalah hutan belukar, hanya sebuah jalanan yang menyusur rimba menembus ke sebelah sana. Diam-diam Boh-thian memerhatikan keadaan sekitarnya agar bila perlu melarikan diri tidak sampai tersesat jalan.
Beberapa li kemudian, akhirnya mereka membelok ke suatu jalan pegunungan yang penuh batu-batu karang, di sebelah lain adalah sebuah kali kecil dengan arus air yang keras. Dengan menyusur tepi sungai kecil yang semakin menanjak ke atas, akhirnya tertampaklah sebuah air terjun yang berpuluh meter tingginya, air mencurah dari atas bagai dituang. Rupanya air terjun inilah mata air daripada sungai kecil itu.
Laki-laki penunjuk jalan itu tiba-tiba mengambilkan sebuah jas hujan yang tergantung di atas pohon di tepi jalan situ, ia berikan jas hujan itu kepada Boh-thian dan berkata, "Gedung tamu agung yang merupakan tempat yang paling nyaman di pulau kami ini dibangun di dalam gua sini, silakan Ciok-pangcu memakai jas hujan ini supaya tidak terciprat air."
Boh-thian juga tidak menolak, ia pakai jas hujan itu. Ia lihat laki-laki itu mendekati air terjun, sekali lompat terus menembus ke balik tirai air itu. Segera Boh-thian ikut melompat ke sebelah sana.
Ternyata di balik tirai air terjun itu adalah sebuah gua, di dalamnya merupakan sebuah jalan lorong yang amat panjang, kedua tepi jalan terpasang pelita-pelita minyak, walaupun cahaya pelita agak guram, tapi cukup menerangi jalanan.
Jalanan lorong itu adalah perubahan dari gua alam yang terdapat di perut gunung itu, tempat-tempat yang dibuat oleh manusia itu agak sempit, tapi terkadang sangat lebar. Makin lama jalanan itu makin menurun dan terdengar pula suara gemerciknya air sehingga menimbulkan suara nyaring merdu di dalam gua. Jalan-jalan cabang di dalam gua juga sangat banyak, tapi diam-diam Boh-thian telah mengingatnya dengan baik.
Kira-kira lebih dari satu li jalan lorong di dalam gua itu, akhirnya pandangan Boh-thian terbeliak, di depannya terdapat sebuah pintu terbuat dari batu pualam. Di atas pintu terukir tiga huruf besar. Ia lantas tanya, "Apakah di sini inilah gedung tamu agung yang kalian maksudkan?"
Laki-laki baju kuning itu mengiakan. Diam-diam ia pun heran, bukankah huruf-huruf di atas pintu itu sudah cukup menerangkan, mengapa masih tanya, apakah kau buta huruf?
Ia tidak tahu bahwa Ciok Boh-thian justru memang buta huruf.
Setelah memasuki pintu batu pualam itu, lantai jalan di dalam situ ternyata juga terbuat dari papan batu yang sangat rajin. Laki-laki itu membawa Boh-thian ke dalam sebuah kamar di sebelah kiri, katanya, "Silakan Ciok-pangcu mengaso dulu di sini, sebentar lagi barulah Tocu akan menemui engkau dalam perjamuan nanti."
Di dalam gua itu ternyata dilengkapi dengan meja kursi, tiga batang lilin besar cukup menerangi seluruh ruangan. Seorang kacung lantas mengaturkan teh dan empat macam penganan.
Melihat makanan dan minuman itu, tiba-tiba Boh-thian teringat kepada cerita Ciok Jing tempo hari. Menurut pengiraan Ciok Jing, berbagai tokoh persilatan yang telah diundang ke Liong-bok-to dan tak pernah kembali itu rasanya tidak mudah dijaring sekaligus begitu saja, besar kemungkinan orang-orang Liong-bok-to telah menggunakan akal-akal licik misalnya memakai perangkap atau menaruh racun di dalam makanan. Secara terang-terangan pihak Liong-bok-to mengundang tamunya menghadiri perjamuan Lap-pat-cok, maka bubur atau jenang yang dimaksudkan ini boleh jadi malah tidak ada sesuatu yang luar biasa, sebaliknya makanan atau minuman biasa yang tampaknya sepele justru jangan sembarangan dimakan. Namun demikian tokoh-tokoh Bu-lim yang menghilang di Liong-bok-to itu toh bukan orang bodoh semua, masakan mereka kalah cerdik daripada kita, maka sesungguhnya masih merupakan suatu teka-teki besar keadaan di Liong-bok-to. Sebagai pemuda yang jujur dan polos mungkin akan mendapat berkah dan takkan mengalami cedera apa-apa, yang penting segala apa hendaklah waspada dan hati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Medali Wasiat (Xia Ke Xing/Ode To Gallantry) - Jin Yong
General FictionSepasang utusan "Pengganjar & Penghukum" menggetarkan kang ouw! Mereka mengundang setiap ketua perguruan untuk datang ke pulau Hiap Kek. Tidak ada satupun yang dapat melawan. Dunia Persilatan terjerumus dalam kekacauan karena setiap orang yang pergi...