Bab 28. Thian-hi Tojin Ketua Syang-jing-koan

2.2K 39 1
                                    

Dalam pada itu beberapa orang itu sudah berada di depan deretan jendela panjang, sejenak lagi tentu akan memasuki ruang makan.

Pada saat yang sudah sangat mendesak itu, sekilas Boh-thian melihat di atas ruangan itu tergantung melintang sebuah papan pigura besar yang bertuliskan tiga huruf emas. Karena sudah kepepet, tanpa pikir lagi Boh-thian lantas meloncat ke atas belandar, lalu menyusup ke belakang papan pigura itu. Ia setengah merebah dan rasanya cukup baginya untuk sembunyi.

Apa yang terjadi itu hanya berlangsung dalam beberapa detik saja. Di sini Ciok Boh-thian baru saja sembunyi di belakang papan pigura, di sebelah sana orang-orang tadi pun sudah mendorong pintu dan melangkah masuk. 

Terdengar seorang di antaranya sedang berkata, "Kita adalah saudara seperguruan, mengapa Suko seperti kedatangan tamu agung saja dan mengadakan perjamuan apa segala."

Boh-thian merasa suara orang itu sudah dikenalnya. Ia coba mengintip ke bawah melalui sela-sela pigura itu, ia lihat ada belasan tojin mengiringi dua orang tamu pria dan wanita. Kiranya kedua orang tamu ini adalah Ciok-cengcu suami-istri, yaitu Ciok Jing dan Bin Ju dari Hian-soh-ceng.

Terhadap Ciok Jing berdua sampai sekarang Ciok Boh-thian masih sangat berterima kasih, lebih-lebih Nyonya Ciok yang dahulu pernah memberi sedekah kepadanya, pula belum lama berselang telah mengajarkan ilmu pedang padanya. Maka setelah bertemu sekarang, seketika timbul perasaan hangat di lubuk hati pemuda itu.

Sementara itu seorang tosu tua yang sudah ubanan terdengar membuka suara, "Sute dan Sumoay datang dari jauh, sungguh suhengmu ini merasa girang tak terhingga, hanya secawan arak bening ini saja masakah dapat dikatakan sebagai perjamuan?"

Tiba-tiba tosu tua itu melihat di atas meja perjamuan penuh tetes air kuah, sebuah pinggan (basi) hanya tinggal sedikit sisa kuah bening, masakan pokok di dalam basi itu entah ayam atau itik, ternyata sudah terbang.

Tosu tua itu mengerut kening, ia pikir bagaimana kerjanya anak-anak ini, masakah makanan yang sudah siap tidak dijaga sehingga kena digondol kucing. Karena berada di depan tamu, ia merasa tidak baik untuk mendamprat anak-muridnya yang lengah itu.

Tatkala itu kembali ada tosu-tosu cilik membawakan masakan lain lagi. Waktu mereka melihat keadaan meja perjamuan yang morat-marit itu, mereka menjadi kikuk dan serbasalah, cepat mereka membersihkan meja dan menyiapkan daharan yang lain lagi.

Dengan hormat tosu tua itu menyilakan Ciok Jing suami-istri duduk di meja utama, ia sendiri mengiringinya bersama tiga orang tojin lain yang setengah umur, sisanya 12 orang tojin lagi terbagi pada dua meja yang lain.

Setelah minum beberapa cawan, kemudian tosu tua itu membuka suara pula dengan terharu, "Selama delapan tahun tidak bertemu, ternyata Sute dan Sumoay tidak kurang sehat dan gagahnya daripada dahulu. Sebaliknya suhengmu ini sekarang sudah tua dan loyo."

"Rambut Suheng memang telah tambah ubanan, tapi semangatmu toh tetap sangat kuat," sahut Ciok Jing.

"Tambah ubanan apa? Rambutku ini adalah karena pikiranku yang sedih, hanya dalam semalam saja lantas ubanan," kata si tosu tua. "Jika Sute dan Sumoay datang kemari pada tiga hari yang lalu, tentu jenggot dan rambutku tidaklah seputih ini, paling-paling cuma setengah putih saja."

"Yang dipikirkan Suheng apakah urusan tentang kedua sucia (rasul) Siang-sian dan Hwat-ok (pengganjar bajik dan penghukum jahat) itu?" tanya Ciok Jing.

"Ya, kecuali urusan ini, rasanya tiada urusan kedua di dunia ini yang dapat membuat Thian-hi Tojin dari Siang-jing-koan berubah menjadi lebih tua 20 tahun hanya dalam waktu semalam," sahut si tosu tua alias Thian-hi Tojin.

"Justru Sute dan Sumoaymu ini mendengar tentang berita bahwa kedua rasul itu kembali muncul, dunia persilatan harus menghadapi bencana pula, makanya siang-malam kami memburu kemari untuk berunding dengan Ciangbun-suheng dan para Suheng dan Sute," tutur Ciok Jing. "Selama sepuluh tahun terakhir ini nama Siang-jing-koan kita cukup menonjol di kalangan bu-lim, pohon besar tentu terancam angin, kukira kedua rasul itu boleh jadi akan berkunjung ke sini. Maka ada maksud Siaute suami-istri untuk tinggal satu-dua bulan di sini. Bilamana mereka benar-benar mencari gara-gara ke sini, walaupun tidak becus, sedikitnya kami suami-istri juga dapat berjuang mati-matian bahu-membahu bersama para Suheng demi perguruan."

Medali Wasiat (Xia Ke Xing/Ode To Gallantry) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang