Saat itu pedang orang she Liau sedang ditangkis pergi oleh pedang jisuhengnya dan sedang saling adu tenaga dalam buat melepaskan lengketan pedang lawan, maka tusukan samsuhengnya itu benar-benar di luar dugaan dan betapa pun susah dielakkan.
Pada saat demikian untunglah sang sute she Nio yang tadi hanya diam-diam saja itu kini mendadak ikut melolos pedang terus menusuk ke punggung orang she Ce sambil berkata, "Ai, dosa, dosa caramu ini!"
Untuk membela diri, terpaksa orang she Ce menarik kembali pedangnya untuk menangkis serangan gosute she Nio itu.
Begitulah anak murid dari cabang dua, tiga, lima dan lain-lain lantas ikut menerjang maju untuk membela gurunya masing-masing. Maka pertempuran menjadi tambah seru....
Ciok Boh-thian sampai bingung menyaksikan pertarungan gaduh itu. Hanya sebentar saja terjadilah banjir darah di ruangan pendopo itu, banyak tangan kutung dan kaki patah tercecer di sana-sini diseling suara jerit ngeri.
"Toako, aku... aku takut!" kata A Siu dengan suara gemetar sambil menggelendot di samping Boh-thian.
"Sebenarnya ada urusan apakah, mengapa mereka saling hantam sendiri?" tanya Boh-thian.
Tatkala itu setiap orang di dalam ruangan itu sedang memikirkan keselamatannya sendiri, maka biarpun Boh-thian bicara lebih keras di luar juga takkan dipedulikan.
Sebaliknya Su-popo lantas menjengek, "Hm, bagus, bagus! Pertarungan yang bagus! Biarkan semuanya mampus barulah puas hatiku!"
Pertempuran sengit beratus-ratus orang tanpa teratur itu agak lucu juga tampaknya, lebih-lebih pakaian mereka adalah seragam putih semua, senjata yang dipakai juga sama, kawan atau lawan menjadi susah membedakan. Semula anak murid cabang utama bertarung melawan cabang ketiga, tapi sesudah anak murid cabang-cabang lain juga ikut masuk medan pertempuran, seketika keadaan menjadi kacau, banyak di antaranya yang memangnya ada permusuhan pribadi lantas dilampiaskan dalam pertempuran gaduh ini.
"Sudahlah, kita jangan lihat lagi, marilah menyingkir saja," kata A Siu kepada Boh-thian.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara gedubrakan yang gemuruh, daun pintu telah terpentang dan terlepas dari engselnya. Lalu terdengar seorang berseru dengan suara lantang, "Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to berkunjung kemari hendak bertemu dengan ketua Swat-san-pay!"
Begitu keras dan nyaring suara seruan itu sehingga suara pertempuran yang riuh ramai tadi tersirap semua.
Mendengar nama Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to sudah tiba, semua orang sangat terkejut. Segera sebagian orang berhenti bertempur dan melompat ke pinggir. Berturut-turut yang lain juga berhenti bertempur. Hanya sekejap saja semua orang sudah menyingkir ke samping, perhatian semua orang tertuju ke arah pintu. Di tengah ruangan hanya tertinggal suara rintihan mereka yang terluka, suara lain tiada terdengar lagi. Sejenak kemudian penderita-penderita luka itu pun lupa merintih lagi dan sama memandang ke arah pintu.
Ternyata di ambang pintu secara berjajar telah berdiri dua orang, satu gemuk dan satu kurus, pakaian mereka sangat perlente. Hampir-hampir Ciok Boh-thian berseru menyapa ketika melihat yang datang itu adalah Thio Sam dan Li Si. Tapi lantas teringat dirinya dalam penyamaran sebagai Ciok Tiong-giok dan belum waktunya untuk menonjolkan siapa sebenarnya dia.
Dalam pada itu terlihat Thio Sam mulai berkata dengan tertawa, "Pantas ilmu silat Swat-san-pay termasyhur di seluruh jagat, kiranya di waktu latihan di antara sesama saudara seperguruan digunakan cara menyerang dan membunuh sungguhan. Wah, cara demikian benar-benar hebat. Sungguh mengagumkan."
Orang she Liau lantas tampil ke muka dan menegur dengan suara bengis, "Apakah kalian ini yang disebut sebagai Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Medali Wasiat (Xia Ke Xing/Ode To Gallantry) - Jin Yong
General FictionSepasang utusan "Pengganjar & Penghukum" menggetarkan kang ouw! Mereka mengundang setiap ketua perguruan untuk datang ke pulau Hiap Kek. Tidak ada satupun yang dapat melawan. Dunia Persilatan terjerumus dalam kekacauan karena setiap orang yang pergi...