Bab 31. Ciok Jing Berkisah Tentang Rasul-rasul Pengganjar dan Penghukum

2.2K 36 0
                                    

Ciok Jing menjadi girang dan merasa lega karena sang istri telah dapat menjelajahi sumber penyakit anak muda itu.

"Nak, janganlah kau takut," kata Bin Ju pula dengan lembut, "karena sakit panas itu sehingga kau telah melupakan segala apa di masa lampau, tapi perlahan-lahan daya ingatanmu pasti akan pulih kembali."

Namun Boh-thian masih bersangsi. "Jadi kau benar-benar adalah ibuku dan... dan Ciok-cengcu adalah ayahku?" tanyanya pula.

"Betul," sahut Bin Ju dengan tersenyum. "Nak, aku dan ayahmu telah mencari kau ke mana-mana, berkat Tuhan yang maha pengasih, akhirnya kita bertiga telah dapat berkumpul kembali. Eh, mengapa kau tidak... tidak lekas panggil ayah?"

Boh-thian percaya penuh bahwa Bin Ju pasti tidak membohonginya, memangnya ia sendiri pun tidak punya ayah, maka sesudah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia memanggil ayah pada Ciok Jing.

"Dan panggil juga ibu!" sahut Ciok Jing dengan tersenyum.

Disuruh memanggil ibu kepada Bin Ju bagi Ciok Boh-thian menjadi lebih sukar keluar dari mulutnya. Ia masih ingat dengan jelas bahwa wajah ibunya sendiri sama sekali berbeda daripada Bin Ju, ibunya yang menghilang itu rambutnya sudah mulai ubanan, sebaliknya rambut Bin Ju masih hitam mengilap. Tabiat ibunya sangat keras, sedikit-sedikit lantas marah-marah dan memaki, bahkan main pukul segala, sama sekali berbeda daripada sikap Bin Ju yang ramah tamah ini.

Melihat air muka Bin Ju penuh menaruh harapan akan panggilannya, bahkan kelihatan matanya menjadi basah sesudah menunggu sekian lamanya belum lagi dipanggil, Boh-thian menjadi tidak tega, akhirnya ia memanggil dengan suara perlahan, "Ibu!"

Sungguh girang Bin Ju tak terlukiskan, terus saja ia merangkul Boh-thian sambil berseru, "O, anakku yang baik!" berbareng air matanya sudah bercucuran pula.

Ciok Jing pun terharu, pikirnya, "Kalau mengingat sepak terjang anak ini ketika di Leng-siau-sia dan di tengah orang-orang Tiang-lok-pang, dosanya itu biarpun ditebus dengan jiwanya juga belum cukup setimpal, mana dapat dikatakan sebagai 'anak yang baik'?"

Tapi mengingat anak itu menderita penyakit hilang ingatan, ia merasa tidak enak untuk menegurnya tentang perbuatan-perbuatannya.

Apalagi kalau diingat bahwa kesalahan setiap orang harus diberi kesempatan untuk memperbaikinya, bukan mustahil kelak anak ini akan berubah menjadi baik. Padahal kalau ditinjau lebih mendalam, sejak kecil dia sudah berpisah dengan ayah-ibu, betapa pun dirinya sebagai ayah harus bertanggung jawab karena kurang memberi didikan. Hanya saja perbuatan tidak senonoh bocah inilah yang benar-benar telah membikin busuk nama baik Hian-soh-siang-kiam (sepasang pedang dari Hian-soh-ceng) yang tersohor di Kangouw selama ini.

Begitulah sesaat itu pikiran Ciok Jing menjadi bergolak di samping gembira juga merasa menyesal dan gemas.

Melihat air muka sang suami yang sebentar terang sebentar masam itu, segera Bin Ju dapat meraba apa yang dipikirnya. Khawatir kalau suaminya mulai menanyai dosa Ciok Boh-thian cepat Bin Ju berkata, "Engkoh Jing, Anak Giok, aku sudah sangat lapar, marilah kita lekas mencari makanan."

Ia lantas bersuit, sejenak kemudian kedua ekor kuda hitam-putih lantas berlari mendatangi dari semak-semak sana. "Nak, kau bersatu kuda tunggangan dengan ibu saja."

Melihat sang istri sangat gembira, hal ini jarang terjadi selama belasan tahun ini, maka Ciok Jing hanya tersenyum saja dan lantas mencemplak ke atas kuda hitam.

Boh-thian dan Bin Ju bersama menunggang kuda putih terus dilarikan menuju ke jalan besar. Tapi di dalam hati Boh-thian tetap ragu-ragu dan tidak habis mengerti, "Apakah dia benar-benar ibuku? Jika betul ibu yang membesarkan aku sejak kecil itu tentulah bukan ibuku lagi. Sebenarnya yang manakah yang betul adalah ibuku?"

Medali Wasiat (Xia Ke Xing/Ode To Gallantry) - Jin YongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang