Setelah para hadirin sudah datang semua, Liong-tocu lantas bisik-bisik memberi pesan kepada murid pertamanya, begitu pula Bok-tocu. Kedua murid pertama mereka tampak tercengang sambil mendengarkan perintah sang guru. Dan sesudah minta penjelasan pula seperlunya, kemudian kedua murid pertama itu lantas menuju ke belakang bersama belasan orang sute mereka.
Liong-tocu lantas mendekati Ciok Boh-thian, katanya dengan suara tertahan, "Adik cilik, tentang kejadian di kamar batu terakhir tadi janganlah sekali-kali kau katakan kepada orang lain. Kalau tidak, sepanjang hidupmu tentu akan timbul macam-macam kesukaran dan macam-macam bahaya."
Ciok Boh-thian mengiakan saja walaupun tidak mengerti sebab musababnya.
Namun Liong-tocu lantas menerangkan, "Kau telah memiliki ilmu sakti yang tiada taranya di dunia ini, orang Bu-lim tentu ada yang kagum dan ada yang iri, dari iri menjadi benci, atau ada pula yang datang minta belajar padamu, mungkin pula dengan macam-macam akal kau akan dipaksa mengaku rahasia kepandaianmu, pendek kata macam-macam kesukaran akan menimpa dirimu. Sebab itulah pengalamanmu tadi jangan sekali-kali diketahui oleh orang luar."
"Ya, banyak terima kasih atas petunjuk Tocu ini," sahut Boh-thian.
Selesai memberi pesan seperlunya, kemudian Liong-tocu kembali ke tempat duduknya semula. Lalu berkata kepada para kesatria, "Sobat-obat sekalian, kita dapat berkumpul di pulau ini, betapa pun dapatlah dianggap kita ini ada jodoh. Tapi sampai sekarang masa berkumpul kita sudah berakhir dan terpaksalah kita harus berpisah."
Para kesatria tercengang heran, beramai-ramai mereka bertanya, "He, ada apakah?" — "Telah terjadi apakah, Tocu?"
Di tengah suara berisik itu, sekonyong-konyong dari ruangan belakang sana terdengarlah suara letusan yang gemuruh. Seketika para kesatria terdiam, mereka melenggong karena tidak tahu apa yang terjadi.
"Para sobat, kalian berkumpul di sini adalah dengan harapan dapat memecahkan rahasia ilmu sakti lukisan dinding itu, namun sayang waktunya sudah tidak mengizinkan lagi, Liong-bok-to ini dalam waktu singkat sudah akan tenggelam," kata Liong-tocu pula.
"Hah, sebab apa? Apakah gempa bumi? Atau ada gunung berapi akan meletus? Dari mana Tocu mendapat tahu?" demikian beramai-ramai para kesatria menjadi ribut.
"Ya, tadi aku dan Bok-hiante telah melihat pusar pulau ini mulai bergolak dan segera akan terjadi letusan gunung berapi, bila meletus tentulah pulau ini akan menjadi lautan api. Sekarang suara gemuruh sudah mulai dahsyat, para sobat silakan lekas pergi dari sini."
Namun para kesatria itu masih ragu-ragu. Ada yang sudah terlalu keranjingan ilmu silat yang terukir di dinding itu, maka mereka lebih suka menghadapi bahaya daripada tinggal pergi begitu saja.
"Jika kalian tidak percaya, boleh silakan kalian periksa lagi kamar-kamar batu yang sudah retak dan runtuh itu, andaikan gunung berapi tidak jadi meletus juga tiada gunanya lagi kalian tinggal di sini," ujar Liong-tocu.
Mendengar itu, para kesatria benar-benar terkejut, beramai-ramai mereka berlari ke kamar batu masing-masing, begitu pula Boh-thian ikut lari ke belakang. Benar juga kamar-kamar batu itu sudah retak, ukiran di dinding itu sudah ambrol semua.
Boh-thian tahu ukiran dinding itu tentu dirusak atas perintah kedua tocu, diam-diam ia merasa dirinya yang bersalah sehingga menimbulkan gara-gara ini.
Para kesatria itu pun menganggap rusaknya kamar-kamar batu itu tidak wajar, terang dilakukan oleh manusia dan bukan lantaran gempa bumi. Beramai-ramai mereka lantas berlari kembali ke ruangan depan dengan maksud menegur kedua tocu. Tapi baru saja sampai di ambang pintu lantas terdengar suara tangis orang yang ramai dan sedih. Keruan para kesatria tambah kaget, Tertampak Liong-tocu dan Bok-tocu berduduk di tempatnya dengan mata terkatup. Para muridnya berlutut di sekelilingnya sambil menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Medali Wasiat (Xia Ke Xing/Ode To Gallantry) - Jin Yong
General FictionSepasang utusan "Pengganjar & Penghukum" menggetarkan kang ouw! Mereka mengundang setiap ketua perguruan untuk datang ke pulau Hiap Kek. Tidak ada satupun yang dapat melawan. Dunia Persilatan terjerumus dalam kekacauan karena setiap orang yang pergi...