Bab Tiga

586 34 2
                                    

FOKUSNYA terarah ke jalanan kota Manhattan yang terlihat cukup padat. Suara dari radio nan terdengar ke seisi mobilnya tak mampu menghindari hiruk-pikuk di luar. Syamsul masih menghentikan kendaraannya karena lampu jalanan tertera warna merah hingga berubah ke hijau, baru ia melajukannya menuju ke satu tempat.

Sesampai di depan gedung tinggi, keramaian tak mampu dihindari sebab pusatnya memang di sini. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, pria itu keluar dan mulai berjalan masuk ke dalam.

Banyak dari orang di gedung itu menyapanya ramah, mengucapkan selamat pagi yang dibalas anggukan beserta senyuman singkat. Syamsul tidak memiliki pengaruh besar dalam artian jabatan di sini, tapi banyak yang bilang kepala departemen selalu menyukai gagasannya dari setiap laporan penelitian yang ia suguhkan, tak ayal banyak dari para arkeolog lain di tempat ini juga sama menaruh minat.

Kalau laki-laki, mereka lebih ke kagum atas kecerdasannya, tapi jika perempuan, tentu saja parasnya. Di Amerika terlebih, negara dengan banyak pendatang hingga sulit menemukan suku asli dari Negeri Paman Sam ini, wajah-wajah seperti Syamsul memang dua banding sepuluh. Ada sekiranya yang serupa tapi untuk di balai mereka cuma pria itu satu-satunya.

"Hai, Bung!" Thomas dari jarak tak terlalu jauh menghampirinya sambil melambai. Mereka terbilang dekat melebihi sahabat, dari satu kampus berujung ke satu kerjaan macam sekarang.

"Pagi!" Syamsul balas menyapa. Ia menyalami tangan kawannya dengan semangat menggebu, entah mengapa. Padahal sudah sering ia memberikan hasil buah pemikirannya pada kepala departemen dan sudah sesering itu pula mereka memuji kinerjanya.

"Sudah siap jurnalmu?"

Tak menjawab tapi tangannya mengacungkan kertas yang akhir-akhir ini jadi fokusnya setiap malam, selain Raisya.

Oke, Syamsul tidak menomorduakan istrinya dengan wanita lain, tapi kerjaannya. Pria itu memang terkenal workaholic dan menaruh seluruh atensinya terhadap profesi. Bertahun-tahun ia berjuang untuk merealisasikan cita-citanya yang mendasar pada hobi. Memang, ya, kerja sesuai passion itu lebih nyaman dilakukan.

Omong-omong soal Raisya, mungkin gadis--ah--wanitanya itu yang jadi penyebab mengapa ia sesemangat ini. Tak ayal sebagai pria, jelas hasrat jadi utama. Bertahun-tahun bertahan di tengah pergaulan kota New York yang lebih menjorok ke seks bebas, membuat Syamsul tidak lagi bisa menahan menyadari fakta bahwa ia sudah punya istri untuk dinikmati.

"Jika sampai Tuan Wright dan Tuan Hemsworth puas dengan laporanmu, aku perlu minta traktir lagi, Bung!" Thomas bercanda. "Oh, sepertinya tanpa kedua atasan kita itu aku tetap akan menagihnya, karena Ilham kami yang satu ini baru saja menggelar pernikahan."

Syamsul tersenyum geli, kakinya berjalan santai menyusuri bangunan luas nan nyaman, tempat mereka mengais rezeki. "Tenang saja, akan kupuaskan dirimu."

"Hei, aku bukan gay!" Thomas bergedik seketika. "Kau baru saja menikahi perempuan, ingat itu!"

Sedangkan kepalanya malah geleng-geleng. Iya, dirinya juga tahu kalau Thomas itu tidak termasuk kelompok yang menyukai sesama jenis, begitupun Syamsul, sudi amat mengencani sahabat sendiri.

Eh, tapi kalau dipikir-pikir ia menikahi Raisya yang pada dasarnya sudah dikenal sejak lama dan mereka terbiasa bersama.

Itu artinya ia menikahi Raisya dalam artian wanita itu sahabatnya.

DaimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang