Bab Empat Belas

156 14 3
                                    

PULANG ke rumah, istrinya sudah menyambut, Syamsul membiarkan Raisya telaten mengambil tas kerjanya dan menyalim tangan.

"Kamu sudah mendingan, Rai?" Tatapan Syamsul tak lepas memerhatikan istrinya yang sudah terlihat baik-baik saja.

Ia manggut sebagai jawaban. "Mas mau makan?"

Kepalanya pun mengangguk.

"Kebetulan, aku tadi baru aja masak nasi tutug oncom." Raisya tersenyum lebar, tangannya menarik pelan milik suami dan mendudukkannya di salah satu kursi tengah dapur.

"Wah, dapat oncom dari mana?"

"Itu, yang kemarin dibawain Ibu pas kita berangkat." Raisya mulai menyendokkan dua porsi untuk mereka lahap malam ini. Sesudahnya ia pun ikut duduk di seberang sang suami dan mulai menyantap ketika doa telah dipanjatkan bersama. "Enak?"

Syamsul memasang wajah puas. "Banget. Mirip buatan Ibu."

"Iyalah, aku anaknya." Raisya terkekeh geli, lidahnya memelet, meledek suaminya. "Makan yang banyak, ya."

"Kamu juga." Syamsul menyeringai. "Biar makin montok."

"Ih!" Matanya langsung sinis tapi kemudian tawanya menyembur. Bisa-bisanya Syamsul memiliki padanan kata penuh humor. "Bahasa kamu itu, loh!"

Syamsul juga ikut tertawa karenanya. Mereka menghabiskan makan malam dengan interaksi hangat, penuh candaan dan energi positif.

Setelahnya, Syamsul menemani Raisya cuci piring, selagi istrinya sibuk bersama busa dan spons, pria itu memeluk dari belakang dan menyandarkan dagu di bahu kanan sang wanita, kemudian menggerakkan ke kanan-kiri perlahan, sembari bersenandung.

Agak jahil, Syamsul mendaratkan beberapa kecupan ringan di tengkuk istrinya, hingga si wanita kegelian. Raisya lantas menyikut perut padat sang suami.

"Jangan jahil, ya!"

"Ah, cepet selesai, deh, haid kamu."

"Baru aja dapet. Sumbilangeun juga masih kerasa dikit-dikit."

"But at least you are okay?"

"I'm fine, tho."

"Eh, bisa, nih, jawab aku pakai bahasa Inggris." Syamsul mengangkat kepala sedikit guna melihat istrinya. "Makin pinter, nih, istri aku."

"Iya, dong, harus." Raisya tertawa kecil. "Tiap hari ngobrol sama tetangga sebelah, jadi mahir aku."

"Oh, jadi bukan karena aku, ya?" Syamsul pura-pura merajuk, pas ketika istrinya selesai dengan perpiringan kotor. Gemas, tangannya memutar cepat tubuh Raisya lalu mengurung antaranya dan dinding wastafel.

"Aku, tuh, agak gimana gitu ngomong Inggris sama kamu, Mas." Raisya mencebik. "Biasanya pakai Indonesia 'kan dari dulu."

"Iya, sesekali kamu keceplosan ngomong Sunda kasar ke aku." Syamsul tergelak puas.

"Ih!" Wajahnya langsung memerah, ia berniat kabur dari sana karena sebal bukan main dengan godaan suaminya, tapi gerak Syamsul menahan tubuh agar diam di tempat.

"Aku bercanda." Ciuman singkat diberi di bibir. "Jangan bosan-bosan sama aku, ya!"

Raisya mengalungkan kedua tangan di leher tegas suaminya. "Kalau bosan udah dari kecil aku minta sama Ibu jauhin kamu, Mas."

"Sial sekali." Syamsul memanyunkan bibir. "Aku kesannya kayak ngemis cinta kamu, ya?"

"Aku kesannya kayak punya penarik, ya." Raisya tertawa. "Tapi, Mas, aku selalu heran, kamu dulu nggak nunjukin kalau kamu suka sama aku, makanya aneh ketika kamu bilang ke Bunda mau nikah sama aku."

DaimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang