Bab Sembilan

226 19 2
                                    

NAPAS-NAPAS panas mereka bersahutan, jika sebelumnya Raisya terkapar saat percobaan pertama, lain hal dengan momen kedua mereka. Wanita itu berhasil mengimbangi lawan mainnya hingga mata cantik itu masih terlihat segar terbuka meski menyayu dan nampak letih.

Ia beringsut, mendekat ke suaminya yang sigap memeluk erat dengan posisi masih tiduran. Ranjang yang kini mereka tempati entah sudah berapa kali merekam momen erangan keduanya yang bersatu. Mereka bak dimabuk asmara, hanya mengindahkan dunia tempat keduanya berkelana.

"Mas," panggil Raisya, sesuatu mendarat di kepalanya ketika termenung.

"Iya?"

"Kira-kira kapan kamu mau punya anak?"

Syamsul tidak lantas menjawab, matanya menelusuri kamar mereka yang temaram. Ia berdeham, membasahi tenggorokannya dulu.

"Mungkin nanti."

"Spesifiknya?"

"Entahlah, Rai," balas Syamsul ragu. Bukan dirinya tidak mau punya keturunan dengan sang istri tapi lagi kondisi begini, mana tega ia membiarkan Raisya sendiri di rumah dengan membawa buntalan anak mereka ke mana-mana selama sembilan bulan.

Tiada siapapun yang menemaninya dan itu jelas membuat Syamsul khawatir.

"Aku pengin punya anak, Mas." Raisya bersuara sendu. Hatinya terasa masih kosong padahal ia berhasil dinikahi Syamsul, di mana pria itu adalah target asmaranya sejak dulu.

"Hei, dengar!" Pria itu menunduk, menarik pelan dagu istrinya agar mendongak dan menatapnya. "Bukan aku nggak mau kita punya anak, tapi pernikahan kita ini baru berkisar beberapa hari, belum menapaki bulanan dan aku masih pengin berduaan sama kamu, Rai."

"Tapi...."

"Ini masih jadi opsi terbaik, karena aku sibuk kerja, aku nggak setega itu ngebiarinin kamu hamil padahal aku sendiri juga jarang di rumah."

Raisya tidak menjawab.

"Sayang, kalau waktunya udah tepat, kita akan buat anak, yang banyak."

Mau tidak mau, mendengar ujaran suaminya membuat wanita itu terkekeh geli. "Buat anak?"

Syamsul tersadar akan padanan kalimatnya yang ngawur, lalu ia sudah bisa tergelak kala mengetahui suasana hati istrinya membaik. Tangannya pun merangkul wanita mungil itu semakin erat.

Hening menjamah keduanya dan Raisya mulai merasa mengantuk. Sesaat matanya tertutup rapat dan ia tenggelam ke alam bawah sadarnya, satu suara muncul dan mengakibatkan wanita itu terbelalak.

"Maaf, perut aku nggak tahu waktu." Syamsul mengurai senyum malu.

"He, aku lupa kamu belum makan, Mas." Raisya tertawa kembali. "Aku belum masak makan malam."

"Sudah jam dua belas begini, Rai, nggak usah masak."

"Makan mi instan mau?"

"Ada?" Syamsul tersenyum lebar. Lalu ia sudah bangkit bersama istrinya lantas menutupi tubuh polos mereka, menuju dapur untuk mendiamkan cacing-cacing di perutnya.

***

"Rai, aku ngambil proyek ekskavasi." Di tengah waktu santapan mereka, suara Syamsul terdengar.

DaimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang