BELUM sempat Raisya menanyakan penyebab mereka harus pulang lebih dini dari waktu yang ditetapkan, Syamsul macam tidak mau ditanya, pria itu lebih banyak diam dan termenung, bahkan kerap kali seolah menganggapnya tidak ada.
Meski sebal karena dikacangi, Raisya mencoba untuk paham. Mungkin sesuatu terjadi di tempat kerja suaminya. Alhasil selama perjalanan, ia bungkam saja sebagaimana suaminya mengatupkan bibir.
Saking benar-benar seriusnya, sampai Syamsul memesan tiket penerbangan paling cepat hingga tak membutuhkan waktu terlalu lama, mereka sudah bisa menginjakkan kaki di tanah Amerika lagi.
Sesampainya di rumah, tidak ada basa-basi untuk beristirahat, Syamsul langsung tancap gas entah ke mana, mungkin kantor arkeologinya.
Raisya menghembus napas menatapi mobil suaminya yang melaju pergi meninggalkan pekarangan rumah. Akhirnya ia memilih kembali masuk ke dalam dan membersihkan diri.
Tamu bulanannya datang tidak terlalu lama, seperti biasa. Mungkin karena faktor turunan yang mempengaruhi produksi darah selama masa haid. Paling lama Raisya mendapatkan menstruasinya adalah sekitar tujuh sampai delapan hari, dipastikan besoknya ia sudah suci, sedangkan paling sedikit hanya tiga hari, macam sekarang.
Sambil melepas stres, Raisya memutuskan untuk berendam memakai air hangat terlebih dulu, menikmati uap-uap panas yang memanjakan titik rileks tubuhnya. Punggung wanita itu bersandar di kepala bath tub, matanya memejam, membayang apa saja.
Kemudian kepalanya terdampar sesuatu yang sejak beberapa hari terakhir dilupakan olehnya. Raisya masih dibayangi soal keturunan, ia penasaran dan ingin segera mencapai poin tersebut, namun tentu wanita itu perlu bersabar sedikit lagi.
Setidaknya sampai urusan pekerjaan Syamsul selesai dan tidak mempengaruhi suaminya dalam segi pikiran atau sikap.
Selesai berjibaku dengan urusan kamar mandi, Raisya mematut dirinya di depan cermin rias. Ia sudah dibalut baju lebih santai, rambutnya jatuh dalam keadaan setengah basah, membuat kaus lavender tanpa lengan yang dikenakannya menjadi lembab.
Baru saja Raisya selesai menyisir rambut, sayup-sayup terdengar suara ketukan pintu. Wanita itu tidak mau banyak bertanya sendiri, kendati ia juga bingung siapa yang bertamu.
Hingga ketika pintu dibuka, matanya terbelalak. Ia sempat kaku sejenak sampai suara pria di depannya menarik ke pusat bumi.
"Maiza, ada waktu?"
***
"Ilham!" Alexis segera menghampiri Syamsul yang baru saja keluar dari mobil. Wajah gadis itu jelas memancarkan kegelisahan yang teramat, dirasakannya pula oleh si pria. "Ayo, kita harus segera ke rumah Thomas."
Syamsul mengangguk, ia menggenggam tangan Alexis, memberi kode untuk gadis itu segera masuk ke dalam transportasi roda empat miliknya.
Tak mau banyak pikir, meski sempat Alexis terbawa perasaan, ia menurut dan sudah sedia duduk di samping kemudi. Di sebelahnya ada Syamsul, siap untuk melajukan kendaraan ke satu tujuan.
Tiba segera, mereka melihat kediaman Thomas nampak sepi, pintu utamanya terbuka sedikit, seolah mengeluarkan atmosfer mengerikan di dalamnya, kesunyian yang mengitari membuat Syamsul dan Alexis bertanya-tanya.
Mengapa hening sekali, padahal jelas baru saja digelar pemakaman, apa tidak ada orang yang simpati agar menetap dan menguatkan keluarga nan ditinggalkan. Entahlah.
"Thomas!" Syamsul dan Alexis gerak cepat, masuk ke dalam. Mata keduanya mengedar, hingga terjatuh ke satu titik.
Di sofa dekat televisi tepat di sudut ruangan, ada Thomas terduduk dan tertunduk, tangisannya terdengar menyayat, kedua tangannya memegang pigura dari mendiang adiknya yang baru saja meninggal.
"Thom," panggil Alexis pelan, ia berjalan mendekat diikuti Syamsul. Mereka menatap simpatik ke arah Thomas.
Pada akhir, keduanya paham mengapa pria itu berubah akhir-akhir ini. Mungkin dirinya sangat mendalami momen terakhirnya bersama sang adik, lebih-lebih berita yang tersebar mengabarkan kalau adiknya meninggal karena kanker. Penyakit nan bisa meramal ajal seseorang.
"Hei," Alexis putuskan duduk di samping Thomas, tangannya terangkat, mengelus bahu kekar pria bermata hijau di sisinya. "Aku turut berduka."
Thomas tidak menjawab, ia sibuk bersama kesedihannya. Air mata terus-menerus menetes, melewati tulang pipinya yang tegas, hidung pria itu tersumbat berwarna kemerahan sampai menjalar ke seluruh wajah. Dikata baik, tidak, ia benar-benar berantakan.
"Mengapa kau pergi, Antha?" Thomas bermonolog. "Kau bilang akan menungguku sampai aku bisa berikrar cinta atas nama Tuhan, tapi kau egois, meninggalkanku sendirian!"
Alexis dan Syamsul tidak tahu harus berbuat apa. Terlebih sang wanita, ia masih mempertahankan elusannya di bahu Thomas sambil tak lepas memandang.
Agak lama kebungkaman tercipta, hanya isak tangis yang menghiasi ketiganya, sampai Thomas lumayan tenang, tubuhnya menegak, ia menoleh ke Alexis, matanya sayu serta berwarna.
"Aku bodoh, ya?" Thomas bertanya seolah Alexis tahu pokok pembicaraannya. "Adikku sudah memberikan permintaan terakhirnya sebelum meninggal tapi aku tidak mewujudkannya karena rasa kurang percaya diriku lebih tinggi."
Alexis menggeleng, tidak tahu untuk apa, wanita itu membiarkan Thomas berkata semaunya saat ini.
"Namun apa yang bisa kulakukan lagi?" Thomas mengerutkan kening, ekspresi wajahnya benar-benar putus asa. "Lawanku Ilham, tidak ada tandingannya. Aku cuma Thomassen Karst, orang ceria yang berpura-pura, tak pernah sekalipun dirinya dipandang di tempat kerja, walau ia menciptakan terobosan spektakuler, orang-orang akan tetap mengarahkan atensinya pada Syamsul Muhammad Ilham."
Namanya disebut dan dibesar-besarkan, jelas membuat Syamsul bingung. Ia yang berdiri tak jauh sambil bersandar di dinding, tak lepas memperhatikan interaksi dua insan di depannya.
"Memangnya apa yang diminta adikmu sebelum dia pergi?" Alexis bertanya pelan, jemarinya mengelus punggung tangan Thomas dengan lembut.
Thomas tersenyum miring lantas mencebik, ia membuang wajah, terdiam sejenak hingga kemudian beralih pandang lagi, menatap ke satu garis lurus mata biru cerah yang selalu memanipulasi hatinya.
"Kau." Pria itu kemudian menutup bibir, melihat bagaimana terkejutnya Alexis. "Dia minta aku untuk menikah, tapi aku tak bisa melamarmu, tidak saat aku sadar hatimu tak memberi ruang, kau hanya menganggapku teman kerja, tidak lebih."
"T--Thomas...." Menguar semua kata-kata Alexis, ia tak sanggup menjawab.
Melihatnya, Thomas tersenyum lagi, kali ini pasrah. "Setidaknya sekarang Samantha sudah pergi, aku tak perlu memaksakan segalanya, termasuk kau."
Di antara ketiganya masih diikat keheningan, baik Alexis dan Thomas maupun Syamsul yang memilih memperhatikan masih senantiasa menutup bibir rapat-rapat, berdiskusi asik di pemikiran masing-masing.
"Kalian pulanglah!" Thomas mengusir mereka pada akhirnya.
Alexis dan Syamsul tak banyak merespon, terlebih sang wanita. Ia benar-benar syok kalau selama ini Thomas mengincarnya, menjadikannya target asmara, tapi mengapa ia tak bisa merasakan kode itu semua?
Apa karena harapannya masih bergantung ke Syamsul?
Hanya saja jelas ia tahu satu fakta yang nyata, kalau Syamsul sudah punya wanita, lalu bagaimana?
*****
• bertalian •
KAMU SEDANG MEMBACA
Daim
RomanceAdalah Syamsul, menikahi Raisya karena memang cinta, sudah dari masa sekolah ia memendam untuk teman masa kecilnya. Adalah Raisya merasa begitu bahagia ketika perjuangan cintanya bisa menapaki jenjang pernikahan, hidupnya pasti bakal menyenangk...