Bab Tiga Belas

191 15 0
                                    

SENYUMANNYA tak pernah luntur dari wajah tampan perpaduan gen tersebut. Ia menciumi pasangan orang tua yang menyambutnya dengan sangat ramah nan hangat.

Kali ini ia benar-benar merasa pulang.

"Aku bawakan banyak oleh-oleh untuk Kakek dan Nenek." Pria itu berkata sembari menunjuk tasnya yang besar, ia kemudian menggiring masuk dua insan yang sangat berharga selain kedua orang tua kandungnya.

"Sudah lama sekali, ya, sejak terakhir kau tinggal di sini." Roger berkomentar, ia menarik pelan cucunya untuk duduk di samping.

Amelie mengangguk, mengambil posisi di sebrang mereka, terhalangi satu meja. "Bagaimana dengan Timothy dan Brenda? Apa mereka tidak berniat pulang?"

"Nenek dan Kakek tak perlu mengkhawatirkan Ayah dan Ibu, jika sudah waktunya mereka akan datang ke sini." Tarikan bibirnya nampak tenang, ia melepas jaket dan menyampirkannya di kepala sofa yang tengah diduduki.

"Ya, aku tidak mau banyak berharap dengan Timothy." Amelie memberengut.

Sedangkan Roger hanya meresponnya dengan senyum. "Urusanmu di Indonesia sudah selesai?"

"Aku baru menyelesaikan pembangunannya saja, setelah itu sudah bisa pembukaan resmi."

"Mengapa kau pulang dulu?" Roger menaikkan salah satu alis.

Ia mengendik. "Memangnya tidak boleh kalau aku sudah rindu dengan kalian?"

"Kau bisa saja!" Amelie gemas, segera beringsut dan mencubit pipi cucunya. "Jadi kau akan di sini berapa hari?"

"Entahlah, Nek." Napasnya berhembus kemudian menabrakkan punggungnya, bersandar. "Setidaknya sepekan sudah cukup untuk aku lari dari tanggung jawab."

"Dasar!" Amelie menjewer telinganya. "Sudah buka cabang begini malah malas, harusnya kau semangat."

"Aduh!" Ia menggosok alat pendengarnya yang terasa nyeri sebab tarikan jari Amelie. "Aku hanya bercanda, Nek, kau jangan serius sangat."

Amelie cuma mencebikkan bibir. "Kau bilang kau bawa oleh-oleh, mana?!"

Ia menggelengkan kepala, ditagih seperti ini oleh neneknya tersayang membuatnya geli sendiri. Lantas ia bangkit dan meraih tasnya, mengeluarkan beberapa helai kain dan semacam penutup kepala yang kental sekali dengan Nusantara.

"Ini," tangannya menyerahkan kepada Amelie. "Ada baju tidur motif khas Indonesia untuk kalian berdua dan topi untuk Kakek."

"Ini--" Roger memperhatikan detail barang khusus untuknya.

"Di Indonesia disebut belangkon, asal tanah Jawa."

"Apa gunaku memakai ini di sini?" Kening tua Roger berkerut.

Kembali, bahunya mengendik. "Semacam memperkenalkan budaya Indonesia, tempatku lahir ke tetangga-tetangga di sini. Lagipula itu bagus, punya nilai seni yang tinggi, Kek, kujamin jika kau memakainya akan ada banyak wanita yang mengantre untuk kau nikahi."

Jelas saja perkataannya itu dihadiahi jitakan oleh Amelie. Lalu tawanya membahana sebab berhasil menggoda sang nenek.

"Nenek juga jangan mau kalah," katanya memprovokasi. "Pakai ini, namanya daster, biasanya wanita-wanita di Indonesia memakai ini ketika mau tidur, dijamin malammu dengan Kakek semakin romantis."

"Apa-apaan kau ini!" Amelie rasanya mau menelan sang cucu bulat-bulat karena sebal digoda. "Sudah? Ini saja?"

Mendengarnya, ia mencemooh. "Tidak ada kata terima kasih?"

"Terima kasih." Amelie bersuara datar. "Lain kali bawa yang banyak."

Sambil terkekeh, ia langsung memeluk erat wanita tua di sampingnya ini. "Nanti kalau aku kembali lagi dari Indonesia sekalian aku bawa Jakarta sebagai oleh-oleh untukmu, Nenek."

"Kau macam tidak ikhlas saja," komentar Amelie.

Lalu kemudian pertengkaran antara nenek dan cucu itu tidak lepas menghibur Roger yang memilih diam sembari mencoba belangkon dan bergaya seolah sultan-sultan di ranah Jawa.

***

Ada yang aneh.

Syamsul tidak lepas memperhatikan Thomas dan Alexis yang bersikap ganjal hari ini.

Seperti sebelumnya, mereka tak kunjung menemukan objek yang dicari, namun bukan itu yang membuat pria asal bumi pertiwi itu keheranan.

Justru sahabatnya serta gadis yang selalu ada di tengah mereka, ah rumit, anggap saja Alexis juga teman dekat.

Syamsul kerap kali memergoki dua orang berbeda gender itu saling menjauh dan menghindar, entah mengapa. Tak tahu juga apa yang terjadi semalam, sebelum kedatangannya ke mari.

Bahkan ketika sekarang, mereka menikmati waktu senja habis seperti halnya kemarin di dek kapal, tak ada sekalipun Thomas atau Alexis saling lirik. Yang ada cuma Natasha, Johannes, Robinson, Kenny dan Gustav meramaikan suasana.

Akhirnya Syamsul memilih menghampiri sang sahabat, pria itu nampak tengah duduk bersandar di tiang kapal, menatapi air tenang laut yang menarik matahari perlahan masuk ke ufuk barat.

"Hei!" Sapa Syamsul.

Thomas menoleh, ia menaikkan dagunya.

"Kau sedang bertengkar dengan Alexis?"

Kepalanya menggeleng, terlihat tegas namun lemah.

"Kau serius?"

Kemudian tengkoraknya mengangguk. Tak ada respon via suara, gerak tubuh saja yang mampu ditangkap Syamsul sebagai sinyal buruk.

Lama-lama sahabatnya ini jadi seperti perempuan. Padahal iya malah bilang tidak, sok-sok menutupi kondisi hati.

"Katakan saja padaku." Syamsul ingin tahu. "Bukan aku menyudutkan, tapi kita ini sedang bekerja, profesional lah, jika ada masalah, maka selesaikan dengan kepala dingin."

Thomas tidak menjawab, ia mendesah malas dan bangkit dari sana, menjauh lantas memilih menyendiri.

Syamsul semakin keheranan dibuatnya. Lepas dari sana, Alexis tak berhenti memandang sang pria. Ia tatapi gerakan pemimpin mereka itu mengarah ke Thomas dan harap-harap cemas, takut sesuatu yang semalam terbongkar.

Ya.

Entah mengapa, tapi semalam memang Thomas aneh alih-alih menyebalkan. Bisa sekali pria itu mengetahui isi pikirannya, apa memang semudah itu ditebak?

Alexis merenung, suara menggelegar Kenny dan Gustav yang berbicara dengan rekan kerja lain tak mampu menariknya untuk fokus. Pandangannya ke depan namun terlihat kosong.

Banyak pertanyaan yang mampir di benaknya. Hingga pada akhir mereka balik ke hotel dan Syamsul pergi pulang.

Sekarang ini Alexis memilih memandang langit melalui balkon kamar hotel karena tidak mau atau sebut saja belum siap berhadapan dengan Thomas.

Agak lama ia melamun, menikmati hilir angin malam di tengah pantai yang sejuk sampai satu bayangan menggelitiknya untuk melihat. Ia memperjelas, takut-takut pandangannya salah, tapi segimanapun ia berpikir positif, jelas sekali itu Thomas.

Pria itu berjalan mengarah ke salah satu kapal yang terparkir, tak jauh dari posisinya yang sudah siap di atas alat transportasi air itu, ada sesosok lainnya yang dikenal Alexis sebagai pengemudi.

Mau apa Thomas malam-malam begini berlayar?

Tanpa perlu pikir panjang, kakinya segera berlari, menyusul pria itu, sayangnya karena jarak kamar serta posisi Thomas yang telah bersiap mengarungi air laut lumayan jauh, membuat Alexis tak bisa menggapainya sebab keburu melesat.

Napas gadis itu terengah, ia pandangi kapal yang perlahan-lahan menjauh dari pandangannya. Kepala gadis itu semakin penuh dengan banyak asumsi.

Thomas, mengapa?

*****
• bertalian •

DaimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang