Bab Lima Belas

193 18 2
                                    

TANGAN besarnya mengusap penuh kasih sayang kepala licin sang adik. Miris, dulu yang ia tahu rambut adiknya tumbuh lebat nan panjang, kini tak tersisa sehelai pun, habis dipangkas, percuma memelihara mahkota nyatanya rontok terus karena penyakit yang mendera.

"Katakan, Thom." Kedua tangan lemah adiknya menggenggam hangat, memberi penenang, padahal yang dipegang sudah berbinar, hendak melinangkan air mata. "Katakan kalau Thomas akan menikah sebelum Antha tiada, supaya Antha yakin untuk meninggalkan Thomas sendirian."

Ia menggeleng, luruh sudah cairan ainnya, melewati tulang pipi yang kini ditumbuhi jambang. "Thomas belum mau menikah."

"Thom." Samantha mengangkat tangan, ia menyeka air mata sang kakak menggunakan jempol. "Kalau Thomas belum kunjung menemukan gadis yang bisa menjaga Thomas, Antha tidak bisa pergi. Nanti siapa yang mau menemani Thomas ketika Antha tiada?"

"No!" Thomas terisak dalam, ia menangis hebat di pangkuan adiknya, kedua tangan itu memeluk erat, enggan menerima fakta kalau teman hidupnya, saudari terkasihnya mesti meninggalkan dunia ini karena penyakit yang diderita.

Kanker. Jenis penyakit nan mematikan. Sekali didiagnosis, harapan untuk terus hidup sangat kecil, lebih sering kematian menyapa dan Samantha termasuk ke dalam regu tak beruntung itu.

Usianya diperkirakan tidak lama lagi, membuat Thomas terpuruk, semakin kalut kala Samantha memintanya menikah sebelum meninggal.

Bagaimana Thomas harus bersikap?

"Thom," lirih Samantha, ia bergetar merasakan kesedihan mendalam yang hadir dalam diri kakaknya. "Jangan begini."

"Samantha!" Thomas merengek di tengah isak tangis, matanya sudah basah, wajah memerah dan hidung tersumbat, ia mendongak, memandangi rupa nan sekiranya akan bersatu tanah sebentar lagi, dengan gemetar, ia meraih wajah pucat gadis itu, mengelusnya, merekam jejak pertemuan kulit mereka hingga waktu dengan tega merenggut semuanya nanti. Maka sebelum terlambat, Thomas berbicara satu hal. "Samantha tidak perlu mengkhawatirkan Thomas."

***

Ia sedang melihat ke jendela balkon kamar hotel, ketika matanya mendapati satu sosok berdiri tegap di tepi pantai, diam saja seolah meresap energi alam.

Baju tidur yang dikenakannya terbang, mengikuti arah angin malam, mengikut rambutnya yang pirang indah itu menari-nari, mengajak Thomas mendekati.

Langkah dibuat perlahan, namun matanya tak lepas menatap ke satu arah, pusatnya. Gadis itu nampak cantik di bawah sinar rembulan yang menerangi pantai laut Cooper.

Ah, Tuhan memang hebat, menciptakan mahakarya dalam waktu singkat. Tentu saja. Gadis cantik berbalut baju tidur sederhana, diterpa udara sejuk, bernaung atap langit kehitaman, sunyi, senyap, tentram, tak lupa diiringi suara deburan ombak, sederhana tapi terlihat luar biasa.

Setelah cukup dekat, suaranya terdengar. "Hei!"

Gadis itu menoleh, senyumnya nampak. "Oh, hai!"

"Mengapa belum istirahat? Besok kita masih harus menyelam, bukan?" Thomas bertanya sembari ikut menatap ke arah pandangan gadis di sebelahnya, mengikut kedua tangan langsung bersembunyi di saku, mencari kehangatan di tengah udara dingin.

Gadis itu kemudian menggeleng, kembali meluruskan kepala.

"Di dunia ini ada dua hal yang terus mengikat." Ada yang salah dengan dirinya. "Menerima atau melepas."

Bicara seperti seorang filsuf bukan kepribadian Thomas, namun cinta merupakan hal buram yang tak bisa menemukan huruf awal untuk dijelaskan secara gamblang.

Tak menampik, ia menyukai Alexis. Selain penampilan fisik yang menunjang, tapi Thomas memilih kepribadian sebagai alasannya. Gadis itu tak ayal ramah dan baik hati, ia terbuka pada siapapun bahkan statusnya sebagai primadona kantor tidak membuatnya sombong.

DaimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang