Bab Dua Tiga

197 12 0
                                    

KEDUA tangan Alexis menggenggam tempat makan dengan erat, kemudian kepalanya mendongak, mata gadis itu tidak lepas memandangi kediaman di hadapannya. Bimbang jelas dirasakan, tapi dengan satu kemantapan yang disusunnya, ia berjalan masuk ke dalam.

"Selamat siang!" Alexis menyeru sambil masih tetap mempertahankan langkah, kepalanya menoleh ke sana-sini. Tak didapatinya orang lain ada di dalam, semakin membuat gadis itu berpijak masuk, penasaran.

"Thomas?!" Ia masih memanggil.

Hening.

Alexis jadi berpikiran yang tidak-tidak, lantas ia menggerakkan langkah secara terburu, menyisir setiap sudut rumah, baru ketika tiba di halaman belakang, gadis itu bisa meraup udara lebih tenang.

"Hai!" Gadis itu mendekat dan menyapa.

Thomas diam saja, ia duduk termenung, pandangan pria itu kosong, kantung mata bertengger manis, serta janggut tipis tumbuh menghiasi dagu hingga tulang pipi.

Miris.

Kondisi Thomas tak pernah seburuk ini sejauh Alexis melihatnya.

"Thomas, kau sudah makan?" Gadis itu memegang bahu sang pria, membuatnya menoleh tapi masih nampak seperti orang linglung. "Belum, ya?"

Tidak ada jawaban. Alexis putuskan untuk membuka rantang, ia mempersiapkan alat makan dan menyuapkan satu tepat di depan bibir pucat Thomas.

"Aaa!" Perintahnya.

Masih tidak ada jawaban. Helaan napas Alexis keluar perlahan, ia turunkan tangannya dan menunduk, tak berani menerima fakta kondisi Thomas yang memburuk.

"Jangan seperti ini, Thom." Alexis tak bisa menahan isakannya. "Maafkan aku selama ini tak pernah peka denganmu."

Thomas tidak bereaksi bahkan ketika isak tangis mulai menjamah telinganya, ia cuma memasang ekspresi datar, cenderung bak hilang akal.

"Aku tahu bagaimana rasanya cinta tanpa dicintai." Alexis mahfum itu, karena ia sudah memendam perasaan nan salah pada Syamsul. "Aku juga sudah berkata jujur pada Ilham, sama seperti yang kau lakukan padaku, Thom."

Salah satu tangannya naik, menyeka air matanya sendiri, makanan yang dibawanya mungkin nampak menggiurkan tapi ditafsir hambar oleh keduanya. Tidak Thomas ataupun Alexis.

"Setelahnya aku lega, aku juga mengerti kalau tak semua perasaan bisa dipaksakan, hanya saja kita bisa mencoba." Kepala gadis itu mendongak, ia menangkup wajah Thomas. "Jadi, mari kita coba hubungan untuk kita berdua."

Thomas masih diam, lambat-laun netranya berpendar. Ia menarik tepi bibir pelan-pelan seolah dipaksakan.

"Aku tak bisa." Suara bergetar Thomas terdengar.

Bak petir di siang bolong, Alexis terkesiap ketika Thomas bangkit. Buru-buru gadis itu menaruh tempat makan secara sembarang di meja dekat tempat mereka duduk. Ia menahan pria itu.

"Mengapa, Thom?" Alexis memegang tangan Thomas dengan erat.

"Karena kau cuma mencoba." Thomas pasrah, ia berniat jalan lagi saat tubuh sang gadis menghadangnya.

"Aku sungguh-sungguh, Thom." Alexis menggeleng, air matanya makin meluruh. "Mungkin masih memburam, jadi aku perlu bantuanmu untuk memfokuskan perasaanku padamu, setelah itu, mari kita menikah seperti permintaan mendiang Samantha, Thom."

"Alexis...." Ia berkata pelan, ancang-ancang penolakannya mampu dibaca sang gadis, hingga tanpa disadari, tubuh gadis itu mendekat, ia menjinjit karena Thomas lebih tinggi darinya kemudian kecupan terasa.

Pria itu terbelalak, badannya kaku di tempat, tak kuasa digerakkan ketika sudut bibirnya dihadiahi sesuatu. Ini bukan seperti ciuman pada umunya. Alexis hanya menempel, itupun di sisi, bukan tepat di atas lapisan lambe Thomas.

"Dengan apa lagi aku harus meyakinkanmu, Thomas?" Alexis bersuara sengau. Ia memandangi begitu dalam keterkejutan yang masih bermukim di mata hijau sang pria.

Kebuncahan menghiasi dadanya yang sekian hari mati, jantung semula padan mulai berkobar api asmara, lantas tanpa disuruh, gerak tubuh Thomas mengkhianati akal. Ia memeluk sang gadis dengan sangat erat, matanya terpejam, menghirup dalam-dalam napas secara bebas.

Di balik kelekatan tubuh mereka, Alexis tersenyum, hatinya terasa hangat, lebih daripada apa yang ia rasakan untuk Syamsul.

Apa begini rasanya cinta pada orang yang tepat?

***

Timo menyeruput minuman buatannya. Yang ia tahu, Amelie bilang kalau Raisya sangat suka dengan minuman ini.

Pandangan pria itu tidak lepas dari kebun kecil milik kakek dan neneknya. Terawat, indah dan asri. Membuat kegundahan yang bertahta sejak balik dari rumah sebelah tadi terganti hawa tenang.

Bertemu dengan suami dari perempuan yang ditaksirnya terasa sangat canggung. Timo tidak tahu harus bersikap bagaimana. Pada akhirnya ia memilih menjadi orang yang baru berkenalan, biar saja begini, rasanya lebih nyaman ketimbang harus berkata sebenarnya.

Hai, saya sahabat Raisya yang sudah menyukainya sejak lama. Sayang sekali Raisya sudah jadi milik Anda.

Timo menggeleng, mengenyahkan pemikiran sakaunya, terasa menarik untuk diucapkan sebagai kata perkenalan namun terdengar tidak masuk akal dan macam orang gila.

Ah, Timo harus segera mengikhlaskan Raisya. Bersahabat dan tidak berkomunikasi selama beberapa tahun lamanya membuat hubungan mereka terasa basi.

Tadi saja ketika berbincang dengan Raisya, Timo merasa ada dinding tinggi nan samar bak membatasi keduanya agar tidak seakrab dulu.

"Di sini kau rupanya!" Amelie bersuara, ia mengambil duduk di samping cucunya. "Akhir-akhir ini kau banyak diam, ada apa?"

Timo hanya mengulas senyum tidak enak. "Tak apa, Nek."

"Ceritalah!" Amelie menjuling, merayunya agar berkisah. "Aku jadi khawatir meninggalkanmu sendirian di rumah."

Mendengarnya, gelak tawa tak mampu ditahan. Timo memandang sang nenek dengan dalam.

"Seandainya kita punya satu tujuan, kemudian ketika hampir sampai di titik tersebut, Tuhan malah memutarbalikkan jalan kita, apa yang harus kita lakukan, Nek?"

Amelie mengerutkan kening. "Tentunya mengikuti arahan dari Yang Mahakuasa."

"Tapi kita bisa saja berhasil jika meneruskan langkah."

"Bisa saja." Amelie mengulang. "Itu jika berhasil, kalau gagal?"

Timo menutup bibir.

"Percayalah, Cu, Tuhan tidak akan pernah melakukan sesuatu dalam hidup kita tanpa makna." Amelie mengelus bahu sang cucu. "Dia, selalu tahu apa yang baik dan buruk untuk hambaNya. Kita, sebagai makhluk berpengetahuan terbatas patut menerima setiap rentetan di kehidupan yang tak kita setujui, sebab Tuhan punya sesuatu di depan sana."

Berangsur-angsur nasihat dari Amelie mampu menenangkan Timo, ia lantas tersenyum lebar, kali ini lebih ringan tanpa beban.

Ya, sekarang ia mampu mengikhlaskan.

*****
• bertalian •

DaimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang