RAISYA terdiam membisu, ia pandangi lengan suaminya yang menyodorkan satu benda berbentuk tabung.
"Maaf, tapi kurasa baiknya kita perlu menunda punya momongan dulu." Suara suaminya terdengar ragu, kendati ia tersenyum memberi rasa tenang.
Wanita itu tahu, sepatutnya tidak semudah ini segala harapannya terkabul, pasti ada saja halangan ketika ia baru hendak mencapai sesuatu. Diamnya tentu membuat sang suami bingung.
"Bukannya apa-apa, Rai, tapi masalahnya kita jauh dari Indonesia, aku juga nggak menjamin setiap saat bisa ada di rumah, kalau ada sesuatu 'kan jadinya susah misal kamu berbadan dua."
Benar apa kata suaminya. Meski ia meyakinkan diri bahwa ia bisa sendiri, tetap saja kekhawatiran suaminya tidak patut disalahkan. Akhirnya dengan berat hati ia mengambil benda itu--pil pencegah kehamilan.
"Itu diminum setiap selesai melakukan hubungan intim." Syamsul menggaruk tengkuk bagian belakangnya yang tak gatal, sejatinya ia tengah gugup sekarang. "Aku ambilkan air dulu."
Belum juga Raisya menahan, tubuh tegap suaminya sudah berlalu pergi. Sambil menghela napas berat, ia pandangi tulisan yang tertera di label obat tersebut.
Tidak lama, Syamsul kembali tiba, membawa apa yang dikatakannya tadi. Ia menyerahkan, kemudian mengambil duduk di tepi ranjang, menuntun tangan putih istrinya untuk mengikuti gerak.
"Mas, ini aman?"
"Maksudnya?" Syamsul menaikkan salah satu alis, mengarahkan mata ke tangan sang istri yang menunjukkan satu kalimat.
Mengandung alergen.
"Kamu nggak alergi sama komponen obat tertentu, kan?"
Raisya menggeleng, bukan berarti memberi afirmasi yang sesuai, lebih dari itu dirinya tak tahu. Tak pernah tahu. Mungkin saja memang aman. Akhirnya ia mengambil satu pil, menenggaknya bersama air putih.
Syamsul menaruh gelas di atas nakas setelah diminum habis oleh istrinya. Ia genggam tangan lembut Raisya dengan remasan pelan.
"Karena pernikahan ini kita berdua yang jalani, aku harap kamu nggak sungkan minta apapun sama aku, ya. Kita saling mengandalkan di Amerika sini." Tangannya merambat, menangkup pipi berisi sang istri yang selalu membuatnya gemas sejak mereka remaja.
Raisya mau tidak mau mengangguk, mempercayai semuanya hanya pada Syamsul seorang.
***
"Halo!"
Wanita itu tengah sibuk menyirami tanaman peliharaan Syamsul di teras depan ketika satu suara menjamah telinganya. Kepala berambut panjang sepinggang tersebut menoleh dan mendapati seorang lansia melambaikan tangannya ramah.
"Hai!" Raisya tidak mau dianggap tetangga yang sombong, maka dari itu ia membalasnya meski ia sendiri ragu percakapan mereka bertahan panjang karena terkendala bahasa.
"Kau istrinya Ilham, ya?"
Raisya mengangguk, bersyukur masih mengerti sejauh ini. Ilham yang dimaksud pasti Syamsul, kan. Syamsul Muhammad Ilham.
"Wah, senangnya bisa bertemu denganmu. Sejak Ilham pulang ke Indonesia beberapa pekan lalu dan pamit pada kami serta memberi informasi kalau ia akan menikah, aku selalu penasaran dengan gadis yang merajai hatinya."
Raisya mengerutkan kening, ia putuskan berhenti dari kegiatannya menyirami tanaman, lantas menghampiri wanita tua itu.
"Ternyata istrinya secantik ini, wajar saja jika Ilham berkali-kali membanggakanmu di depan kami."
Ia tak tahu harus merespon apa selain menguar senyum malu, terlebih ini fakta yang baru didengarnya kalau selama ini Syamsul membicarakan Raisya dengan tetangganya.
"Amelie, kau ini bagaimana, bukannya berkenalan dahulu sudah dicecar banyak kalimat basa-basi." Satu suara datang bersamaan munculnya seorang lansia yang lain. "Maafkan istri saya, ya, dia memang cerewet."
"Tidak apa-apa." Raisya terkekeh, mendapati wajah memberengut langsung terpasang di muka wanita tua itu.
"Perkenalkan saya Roger Longbottom dan ini istri saya, Amelie."
"Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Longbottom." Raisya menangkupkan kedua tangan di depan muka, memberi sapaan melalui isyarat yang dibalas serupa.
"Tidak perlu terlalu kaku, panggil saja kami dengan nama depan. Ilham sudah kami anggap anak sendiri, begitupun istrinya."
"Ah," Raisya tersadar sesuatu. "Maaf, nama saya Raisya, Tuan Roger, Nyonya Amelie."
"Raisya, nama yang cantik." Mata Amelie berbinar menatapi paras anggun di depannya. Ia sangat bahagia mengetahui wanita di depannya ini sesuai dengan bayangan di kepalanya sejak beberapa pekan terakhir. "Sama seperti yang punya."
"Terima kasih atas pujiannya, Nyonya, saya sangat menghargai itu." Raisya tersenyum tulus. "Mau mampir ke mari?"
Mendengar penawaran tersebut keduanya seolah mendapat angin segar. Mereka mengangguk, lantas sudah berjalan mendekati gerbang kediamannya bersama Syamsul. Tanpa sadar Raisya menjamu mereka dengan hati bahagia. Ia seolah menemukan sosok pelindung dari sepasang suami-istri renta itu.
***
"Sudah kuduga!" Suaranya meski tinggi tapi bernada positif, ia senang mengetahui sahabatnya kembali membuat kepala departemen terpukau. "Ah, kau cerdas sekali, aku jadi minder bersahabat denganmu."
"Akhirnya dia sadar diri, ya Tuhan!" Syamsul bercanda, ia lantas tergelak ketika mendapati pukulan mengenai bahu kerasnya.
"Pokoknya aku minta traktir darimu!" Thomas tak mau kalah, kini tangan yang tadi dipakai memukul pun digunakannya untuk mengelus-elus sang sahabat dengan maksud terselubung.
"Sudah kuduga!" Syamsul menyalin kata-kata sahabatnya tapi tak ayal berjalan menyetujui.
"Halo, Ilham!"
Baru saja mereka hendak berjalan menuju parkiran, satu perempuan menahan langkah keduanya.
"Aku sangat bahagia atas pencapaianmu untuk ke sekian kalinya ini." Senyum wanita itu tidak pernah berubah, selalu berhasil memikat hati para pria. "Bagaimana jika kita ke kafe dan berbincang bersama?"
Tawaran itu mungkin terdengar menggiurkan, mengingat sang pemberi adalah gadis primadona di kantor mereka. Tapi tidak untuk Syamsul, tidak lagi.
"Maaf, tapi aku sudah ada janji dengan Thomas."
Air mukanya pun berubah. "Sayang sekali."
"Ah, kita ajak saja dia, Ilham, bagaimana?" Thomas tidak tega melihat kesungguhan yang tersirat di mata perempuan itu.
Sambil menghela napas berat, Syamsul mengangguk. "Baiklah, kau bisa ikut dengan kami, Alexis."
*****
• bertalian •

KAMU SEDANG MEMBACA
Daim
RomansaAdalah Syamsul, menikahi Raisya karena memang cinta, sudah dari masa sekolah ia memendam untuk teman masa kecilnya. Adalah Raisya merasa begitu bahagia ketika perjuangan cintanya bisa menapaki jenjang pernikahan, hidupnya pasti bakal menyenangk...