Bab Sepuluh

229 16 15
                                    

KAKI jenjangnya melangkah terburu sambil sesekali lengan kirinya terangkat, menatapi jarum jam yang terus bergerak. Rambut pirang bergelombang sepanjang pinggang menari seiring terpaan angin yang menabrak lembut diri nan cantik. Peluh mulai muncul, keluar dari sela pori-pori kulit terlapisi tabir surya.

Pakaiannya memang tidak seperti biasa, cuma kaos ketat berwarna hitam dengan hiasan tali menyilang di punggung mulusnya. Gadis jelita itu dikenal sebagai primadona di balai arkeologi ini.

Siapa lagi, Alexandra Sisma.

Sesekali rutukan pelan terdengar karena dikejar waktu, dirinya memperkirakan dapat tiba terlambat dari waktu yang sudah dijanjikan. Saking sibuknya mencapai satu tujuan, ia menghiraukan sapaan banyak rekan kerjanya.

Tiba di tempat, sudah didapatinya Thomas berdiri menyandar sibuk melihat ponsel. Dandanan pria itu juga sama, santai. Tak didapati kemeja rapi minim kusut melekat di badan atletis tersebut melainkan malah kain tipis berwarna abu serta celana pendek selutut.

"Hai, maaf telat!" Alexis menunduk sekali, ia pandangi Thomas yang mendongak dan tersenyum padanya.

"Tidak, kau tidak telat." Kekehannya terdengar. "Tapi priamu."

Mendengarnya, Alexis tersipu malu. Ia mengipasi wajah supaya keringat yang sempat eksis di kulit putihnya menjadi kering dan tak menghalangi sinar ceria.

"Dia sudah menikah." Ia agak ragu mengatakannya secara ikhlas.

"Siapa yang tahu." Thomas malah mengendikkan bahu, ia memilih fokus dengan benda digitalnya lagi sembari menunggu ketua mereka.

"Thomas," panggilnya pelan meski kepalanya mengarah ke depan setelah berdiri di samping pria itu. "Bagaimana menurutmu proyek kita ini?"

"Aku tidak yakin dapat menemukannya secara cepat dengan kru yang sedikit begini." Helaan napasnya terdengar. "Banyak rekan kerja yang sudah aku ajak untuk berpartisipasi proyek ini, sayangnya  cuma penolakan yang kudapat."

"Ya." Alexis bersuara rendah. "Apa kau menyesal sudah mengajukan diri?"

Thomas tersenyum. "Tidak, aku tidak menumpukan semuanya padamu, hanya merasa kurang percaya diri saja."

"Hai, apa kalian lama menunggu?" Suara itu tentu dari ketua mereka, Syamsul. Dirinya datang bersama lima orang lain di antara tiga laki-laki dan dua perempuan.

Baik Alexis dan Thomas terbelalak.

"Kawan, mereka ini--" ujaran Thomas tertahan, ia perhatikan saksama lima orang lainnya yang masih nampak asing di pandangan.

Syamsul menyeringai, ia memperkenalkan satu-satu. "Thomas, Alexis, dari kiri sini ada Natasha, Robinson, Johannes, Kenny, dan Gustav, mereka akan membantu kita dalam proyek ini."

"Ba--Bagaimana bisa?" Alexis menaikkan salah satu alis. "Kau tahu, aku dan Thomas mengajak teman-teman dan tidak ada dari mereka yang setuju untuk ikut."

"Jangan sebut aku Ilham." Ia masih merasa bangga dengan usaha kilatnya mengumpulkan tenaga bantuan. Meski di balai ini tidak ada dari temannya yang minat untuk ikut terjun, hal tersebut tidak menghalangi idenya agar meminta uluran dari balai di daerah lain. Hanya membutuhkan koneksi yang dipunya agar bisa menghubungi cabang balai arkeologi di penjuru Amerika.

Bukankah Negeri Paman Sam ini luas?

Dengan begini proyek mereka akan cepat selesai. Totalnya ada delapan arkeolog yang akan menyelam dan melakukan ekskavasi demi mendapat kapak genggam tua masa prasejarah yang tenggelam di laut Cooper, sesuai dengan proposal dari pemerintah.

"Kau hebat sekali, Bung!" Thomas masih menganga, kemudian ia mendekat dan saling bersalaman demi memperkuat tim.

Alexis diam-diam terpesona dengan Syamsul. Betapa gesitnya pria itu, membuatnya tidak bisa menahan asmara yang berdenyaran di dada. Sayang sekali sudah ada lain wanita yang berhasil memenangkan hati si pria.

DaimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang