Bab Dua Belas

245 20 0
                                    

MATAHARI terbit, cahayanya eksis mencari celah untuk menggelitik setiap kelopak yang masih tertutup. New York pagi hari memang terasa menenangkan.

Syamsul terjaga, ia menyipit sejenak karena dirinya yang terkena sinar lebih dulu, agak merenggangkan badan, gerakannya terhenti sebab sesuatu mengganjal di perutnya.

Kepala pria itu menoleh, Raisya masih terlelap sembari memeluk erat. Wajah gadis itu pucat pasi, membuat Syamsul tetiba bangkit khawatir.

"Rai, kamu sakit?" Ia pegangi kening istrinya yang bersuhu normal.

Raisya mengerang, ia membuka mata pelan-pelan, lalu mengaduh. "Sakit, Mas, perutku sakit."

"Kenapa?" Syamsul lantas bangkit, mendudukkan diri, ia menyibak selimut mereka dan mendapati sesuatu basah di bagian bawah istrinya, membuat pakaian tipis khas gaun tidur yang melekat di tubuhnya itu jadi lembab dan berbau anyir.

Istrinya masih mengaduh kesakitan, ia memejam, sembari kedua tangan memegang perut.

"Kamu haid?" Syamsul sudah panik setengah mati, nyatanya ketika netra hitam itu mendapati darah rembes, napasnya berhembus perlahan. "Sumbilangeun, ya?"

Raisya mengangguk pelan. "Sakit!"

"Ya udah, mandi dulu, ya, harus bersihin darahnya ini, kalau nggak nanti makin tembus." Syamsul mengusap sayang kepala istrinya.

Raisya malah merengek dan kemudian tangisnya pecah.

"Hei!" Syamsul berdesis menenangkan, ia putuskan menggendong Raisya dan memangkunya seolah bayi. "Tenang, Sayang."

Mau tidak mau Syamsul harus memandikan istrinya. Gadis itu masih juga belum bertenaga untuk berkilah, ia diam saja saat tangan besar suaminya membasuh tubuh sampai bersih dan memakaikannya baju lengkap serta tak lupa pembalut.

"Makan, ya?" Syamsul menyelimuti Raisya yang sudah rapi.

Wanita itu malah menggeleng dan kepalanya beringsut pindah ke paha Syamsul nan tengah duduk di tepi ranjang.

"Maaf." Raisya berujar pelan. "Biasanya aku sama Ibu setiap haid. Kamu jadi kerepotan begini."

Syamsul mengulas senyum, ia menunduk guna mencium kening istrinya dengan dalam. "Nggak perlu minta maaf, aku udah bilang 'kan, kita saling mengandalkan di Amerika sini."

Raisya mendongak, dari bawah sini ia dapat melihat rambut-rambut halus mulai tumbuh di wajah suaminya, menambah kesan maskulin. Tetiba ia merasa sangat menginginkan Syamsul, entah mengapa.

Dirinya bangkit, menghiraukan rasa sakit di bagian rahimnya karena proses peluruhan darah. Wanita itu menduduki sang suami, kedua lengannya mengalung di leher tegas Syamsul.

Prianya terkesiap, ia tak lepas memandangi Raisya yang masih pucat.

"Kamu nggak berangkat kerja, kan?"

Ia melirik sebentar jam, masih pukul enam kurang, dirinya sudah harus berangkat saat jam menunjukkan waktu tujuh pagi.

"Aku harus pergi, Sayang."

"Mas, mah!" Raisya cemberut. "Kamu nggak mau libur dulu, nemenin aku?"

"Sayang libur juga nggak bisa ngapa-ngapain." Syamsul menyeringai. "Haram 'kan menyentuh istri ketika sedang berhadas."

Raisya memerah mendengarnya.

"Aku bakal bilang ke Nyonya Amelie buat bantu ngurus kamu di sini."

"Nggak mau!" Raisya menggeleng tegas.

Syamsul mengerutkan kening, kedua tangannya mempererat kelekatan tubuh mereka, ia mencengkeram pinggang istrinya.

"Aku nggak tega ngeladenin debat dalam keadaan kamu sakit begini, Rai." Syamsul berkata serius. "Kamu harus mengerti, setelah ini aku janji bakal meluangkan waktu buat kamu."

DaimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang