SALAH satu tangannya sibuk mengaduk teh di kedua cangkir sedang satu lagi menggaruk pipinya yang mendadak terasa gatal.
Raisya tidak begitu mengindahkan, ia putuskan untuk segera menghidangkan cairan kecoklatan pekat itu bersama beberapa kue kering yang dibawanya dari Indonesia di hadapan Roger dan Amelie.
"Maaf sederhana." Raisya tersenyum.
"Ah, tidak perlu repot-repot, kami ke sini hanya karena rindu saja, sudah lama sejak terakhir Ilham mempersilahkan kami masuk ke kediamannya." Amelie berkata demikian tapi tidak menyurutkan niat untuk mengambil satu cangkir.
Roger sampai geleng-geleng melihat tingkah istrinya, lagi-lagi ia menatapi Raisya seolah meminta maaf secara tak langsung.
"Kau dari Indonesia juga sama seperti Ilham?" Roger pun ikut mengambil cangkir untuk diseruput setelah diberi izin.
Kepalanya mengangguk.
"Cucu kami juga sedang membuka cabang dari bisnisnya di Indonesia," ujar Roger.
"Wah, benarkah?"
"Ya, bisnis semacam tempat nongkrong, kafe, begitulah, kami yang sudah tua tidak mengerti." Amelie berkomentar.
"Apa kafenya juga punya cabang di Amerika sini?"
Roger mengangguk. "Dia memulai karirnya di Toronto, kemudian pindah lokasi ke dekat daerah sini, lalu setelah dua tahun merintis, dia memutuskan membuka anak perusahaannya di Indonesia, tempatnya lahir."
"Apa cucu kalian punya darah Indonesia?"
"Tidak," balas Amelie. "Tapi anak kami, Timothy dan istrinya Brenda agak lama menetap di negaramu hingga melahirkan cucu kami serta membesarkannya di sana."
"Hebat!" Raisya seolah hanyut mendengarkan cerita dari sepasang suami-istri di hadapannya ini. Mereka sudah banyak melewati asam manis kehidupan.
Dari bagaimana mereka bisa kenal dan akhirnya memutuskan menikah, hingga kemerosotan finansial yang menjangkiti keluarga mereka ketika membesarkan Timothy beserta dua adiknya.
Omong-omong, nama anak Roger dan Amelie sama seperti sahabatnya semasa SMA dulu, Raisya teringat ia sampai mengulum senyum tak disadari, merindukan sosok jenaka dan selalu menghiburnya itu.
Ah, apa kabarnya, ya. Sudah lewat lima tahunan lebih sepertinya sejak Timo--sahabatnya--memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah tentara di Inggris.
Sejak saat itu, mereka jadi hilang kontak. Tak pernah berusaha mengabari satu dengan yang lainnya. Raisya tak menampik, ia memang tak punya ruang untuk Timo di hatinya sebagai wanita dan pria pada umumnya, tapi sahabatnya itu sudah ia anggap kakak sendiri.
"Raisya?"
Ia tersentak dan siuman dari lamunannya. "Maaf, kalian bicara apa?"
"Ada apa dengan wajahmu?" Roger mengerutkan kening, bingung.
"Wajahku?"
"Banyak bentol dan merah-merah." Amelie menambahkan.
"Ah?" Raisya mengambil ponsel di saku celananya dan mendapati ujaran Roger dan Amelie sesuai. "Mungkin gigitan nyamuk."

KAMU SEDANG MEMBACA
Daim
RomanceAdalah Syamsul, menikahi Raisya karena memang cinta, sudah dari masa sekolah ia memendam untuk teman masa kecilnya. Adalah Raisya merasa begitu bahagia ketika perjuangan cintanya bisa menapaki jenjang pernikahan, hidupnya pasti bakal menyenangk...