Bab Sebelas

209 18 0
                                    

KEDUA kakinya mengayun, membantunya bergerak di dalam air, mata indahnya tak lepas memandangi banyak biota laut serta tanaman air yang tumbuh subur di laut ini.

Tidak tenggelam begitu dalam, kedelapannya sibuk mencari dari masing-masing titik yang sudah disepakati.

Syamsul pula punya tugas di bagian barat searah matahari. Salah satu tangannya memegang kuas untuk menghalau pasir-pasir yang menyelimuti setiap benda di dalam air asin ini.

Agak lama mereka menyelam, tak juga satupun menemukan hasil. Pada akhirnya mereka pun segera berenang ke permukaan lalu masuk ke dalam kapal saat senja mulai menyapa.

Badan kedelapannya basah, kulit wajah mereka mengeriput karena berada di dalam cairan terlalu lama.

"Masih hari pertama, semangat!" Thomas bersuara.

Mereka duduk melingkar di geladak kapal sembari menatap langit kejinggaan, ditemani beberapa minuman kaleng pelepas dahaga.

"Ya, semangat!" Johannes menyambar.

"Bersulang?" Robinson menawarkan, ia mengangkat kalengnya.

"Mari, mari!" Kenny semangat, yang lain pun begitu, kemudian mereka saling menumpukan benda logam ke masing-masing.

"Mari, ketua silahkan." Natasha bersuara, menyadarkan Syamsul.

"Ya, pimpin kami." Gustav menyengir.

"Ini untuk hari pertama kita, mudah-mudahan kapak genggam itu segera ditemukan!" Lantas ia menenggak cairan isotonik, berbeda dari teman-temannya yang memilih alkohol.

"Yash!" Alexis menambah atmosfer, ia mengangkat kalengnya tinggi-tinggi. "Hidup Ilham!"

"Hidup Ilham!" Balas mereka semua serentak, yang dimaksud cuma tertawa geli menerimanya.

"Woho!" Thomas hiperbola, ia berdiri dan merentangkan kedua tangan dengan salah satunya masih menggenggam kalengan. Lantas ia menuangkan minuman itu di atas kepalanya dan menggelengkan tengkoraknya hingga beberapa menyiprat ke rekan kerja.

Mereka tertawa, menghabiskan hari sampai malam datang, kapal mereka pun segera berlayar ke tepi.

"Hei, Thomas, aku numpang berganti baju di kamar hotelmu, ya."

"Loh, kau tidak menginap?"

Syamsul menarik tepi bibir tidak enak. "Aku tidak bisa meninggalkan istriku."

Mau tidak mau Thomas menerima, pun yang lainnya. Bagaimana juga mereka tidak bisa melarang, itu urusan pribadi. Selagi Syamsul besok akan datang lagi dan tidak terlambat, maka semua aman-aman saja.

Lain hal dengan Alexis yang mulai surut rasa semangat dalam diri, hingga Syamsul sudah selesai dengan aktivitasnya lantas pamit pulang, meninggalkan mereka.

Gadis itu memilih berjalan sekeliling hotel dan berhenti di tepi pantai, ia pandangi laut pada malam hari itu sembari memahami apa mau hati.

Ini salah, tak seharusnya ia masih menyimpan rasa dengan Syamsul. Pria itu sudah menikah, sudah punya istri, sudah punya wanitanya sendiri.

Tapi, entah mengapa Alexis tak bisa bersikap ikhlas. Ia menghela napas berkali-kali, mencoba menghalau perasaan itu, nyatanya kembali juga.

"Hei!"

Menoleh, ia dapati Thomas datang dengan senyum. "Oh, hai!"

"Mengapa belum istirahat? Besok kita masih harus menyelam, bukan?"

Alexis cuma menggeleng sebagai jawaban.

"Di dunia ini ada dua hal yang terus mengikat." Thomas bersuara acuh tak acuh, memulai filosofinya. "Menerima atau melepas."

DaimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang