Bab Enam Belas

207 14 0
                                    

SEPERTI orang linglung, Raisya sejak semalam cuma berjalan ke sana-sini dengan harap-harap cemas, menantikan kepulangan suaminya yang tidak kunjung menunjukkan batang hidung bahkan setelah ayam berkokok.

Wanita itu cemberut, animonya karena masa menstruasi sudah menurun malah semakin anjlok karena tingkah suaminya. Satu pesan pun tidak dikirimkan ke ponsel sebagai wanti-wanti awal.

Memang benar, ya, Syamsul mau bermain dengannya. Raisya kesal sendiri dan sudah menyusun banyak penolakan nanti saat suaminya di rumah.

Pagi itu ia lalui dengan pembawaan hati buruk, niatnya tidak mau mandi karena keburu malas dan melewatkan sarapan karenanya, namun tiba-tiba Amelie datang berkunjung, senyuman wanita tua itu nampak cerah tak seperti biasanya.

"Hai, Raisya!" Ia melambai dari posisinya berdiri, tepat di depan pagar atau lebih tepatnya disebut menyandar di penghalang rumah tersebut.

"Halo, Nyonya," balas Raisya sembari memberi ruang untuk wanita itu masuk. "Silahkan."

"Aku tidak mau masuk, justru kedatanganku ke sini untuk mengajakmu ke rumahku." Amelie tersenyum, ia mengamit lembut lengan Raisya dan menariknya perlahan. "Kemarin maaf aku tak bisa menemanimu sampai Ilham pulang, cucuku tiba."

Tetiba Raisya mematung, ia memaksakan senyum. "Ah, begitu rupanya."

"Iya, jadi ayo, aku kenalkan kau ke cucuku."

"T--Tunggu, Nyonya." Raisya mempertahankan pusatnya. "Kurasa aku tak bisa."

"Mengapa?" Amelie memperhatikannya, mata wanita tua itu nampak menyendu.

Raisya yang melihatnya tak kuasa menjunjung ego semata, merasa bersalah sekali hanya karena ketidaksiapannya ia jadi menghiraukan betapa semangat Amelie mempertemukannya dengan sang cucu, sampai bela-bela menjemput.

Sambil menghela napas frustasi, wanita itu mengelus tangan Amelie. "Baiklah, mari!"

Sontak saja ia tersenyum kegirangan dan kembali menjadi Amelie yang ceria. Ia sampai terlalu bersemangat menarik lengan Raisya dan memasuki kediamannya.

Sedangkan dari pihak Raisya sendiri ia berdoa dalam hati, semoga jika memang keraguannya benar soal cucu Amelie yang sama dengan sahabat semasa SMA-nya, semoga saja pertemuan mereka ini tidak begitu canggung.

Begitu tiba ruang tengah, hanya ada Roger yang duduk di salah satu sofa sembari membaca surat kabar. Kacamata bertengger di hidung rentanya dan sekeliling terasa hening sebab pria tua itu berfokus atas apa yang tersaji.

"Roger!" Panggil Amelie.

Ia menoleh perlahan, kemudian agak menundukkan kepala, melihat jelas kehadiran istrinya tidak tunggal, melainkan berganda, ada sosok lain mengikut dengannya.

"Oh, hai, Raisya, lama tidak berjumpa!" Sapa Roger, ia menaruh koran di meja dan melepas kacamatanya, menyampirkan di kerah baju lantas berjalan menghampiri.

"Di mana anak itu?" cerca Amelie.

"Dia sedang keluar sebentar."

"Astaga, sudah kubilang tunggu dulu, ada seseorang yang mau aku kenalkan dengannya."

Roger terkekeh. "Kau sampai menyeret Raisya seperti ini?"

Raisya menggeleng. "Tidak, Tuan Roger." Kendati dirinya terkekeh karena paham maksud kalimat pria renta di depannya.

"Untung kau suamiku." Amelie mencebikkan bibir. "Jadi, Raisya, maaf, aku tidak mengira cucuku akan pergi, aku sudah meminta padanya menunggu."

"Tidak apa, Nyonya Amelie." Raisya menarik tepi bibir. "Kalau begitu biar aku di sini dulu sampai dia datang."

DaimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang