Bab Delapan

312 20 0
                                    

KOTA New York malam ini nampak tenang, angin berhembus pelan menyelip melalui celah jendela yang tertutup rapat. Udara sejuk itu tak mampu menyaingi mesin air conditioner dengan suhu dinginnya tersetel membekukan kamar.

Dengan fakta tersebut, kedua insan di atas ranjang coklat justru saling berusaha menghangatkan, tubuh mereka memanas, sama-sama mendamba.

Syamsul bergerak begitu pelan, seolah wanita di bawahnya merupakan pahatan sempurna tanpa cela. Takut-takut jika salah sentuhan bisa merusaknya.

Bibir tebalnya asyik melumat milik sang istri yang mungil. Semua terisap habis, dibasahi saliva. Nafsu keduanya merambat naik. Kedua tangan mereka saling bergerak, mengelus, memanja, menambah gairah pada aktivitas mereka.

Raisya membuka kancing kemeja sang suami, jemari lentiknya meraba dada bidang yang selalu berhasil menggagahinya. Masih menikmati alunan kecupan lembab, tangan putihnya beralih, merangkul leher Syamsul dan semakin mendekatkan jarak tubuh mereka.

Tidak mau kalah, Syamsul menelusuri, memberi jamahan penuh godaan, mengundang istrinya agar menyerukan nama ia seorang.

Tautan bibir mereka terlepas, Raisya mendongak, kala pijatan lembut diterima buah dadanya. Suara wanita itu tercekat, bersamaan kepala sang suami maju, mengecupi tengkuknya.

"M--Mas!" Ia menjerit tertahan, gaun biru toskanya diturunkan perlahan hingga payudara mulus itu menyembul keluar.

Syamsul gelap mata, lidahnya bermain di sana, tepat pada tonjolan kecil kecokelatan yang berhasil memprovokasi berahinya. Memberikan tanda bahwa dirinya berhasil mencabuli bagian itu.

Raisya merapatkan kelopak, tangannya meremas bahu suaminya, bibir wanita itu digigit bagian bawah, menahan desahan.

"Kita mulai, Rai." Syamsul bersuara serak setelah memberi jeda. Pandangannya sudah menyayu, sama halnya dengan sang istri. Wanita itu telah berantakan, gaunnya sudah tidak melekat rapi, dadanya yang membusung itu berkilat sebab saliva dan keringat.

Pria itu lantas membuka seluruh pakaiannya. Masih tidak melepaskan pandangan dari Raisya yang siap ia terkam, tangannya sibuk memasang lateks ke alat vitalnya. Agak sesak, mungkin lain kali Syamsul perlu membeli dengan ukuran di atas ini.

"I--Itu...." Raisya masih cukup sadar melihat benda berwarna cerah yang kini membungkus kelamin suaminya.

Syamsul cuma mengulas senyum sebagai respon. Ia siap atas dirinya sendiri. Kemudian mendekat lagi, melucuti sisa-sisa kain istrinya yang menutupi hidangan utama.

Kaki Raisya ia renggangkan, melakukan penetrasi sebentar, lalu ia menyentak maju tubuhnya secara perlahan.

Wanita itu menahan napas, momen awal penyatuan mereka selalu berhasil merenggut oksigen dan akal sehat. Sampai Raisya tersedak sendiri kala menyadari kejantanan itu telah terbungkus sepenuhnya di dalam rahim.

Mengecup bibir istrinya sebentar, Syamsul memulai permainan ini. Awalnya syahdu terus menggebu. Tubuhnya berguncang gila-gilaan, mengentak keluar-masuk, mendaki klimaks.

Raisya meremas kuat sprei, ia merasakan kabut menutupi pikirannya dan rasa aneh melingkupi perut bagian bawahnya. Dirinya bergerak tidak menentu, mengikuti panduan suaminya. "Mas Syamsul!"

Syamsul mendengarnya lantas mengernyit, lorong senggama itu berkedut, menandakan semakin sensitif sebab sesuatu akan datang. "Tahan, Rai!"

Gerakannya menggila, menumbuk spot yang tepat hingga wanitanya berteriak nyaring.

"M--Mas!" Raisya menggeleng, sudah tidak sanggup, satu desakan muncul hendak keluar. Tubuh suaminya yang membungkuk langsung dipeluknya erat, kuku-kuku wanita itu menancap tanpa sadar di punggung Syamsul, menafsirkan rasa luar biasa yang diterimanya. Badannya menggegar, sesuatu hangat mengaliri kewanitaannya, memperlancar gerakan sang suami yang masih bersarang di dalam.

Syamsul mencengkeram pinggang istrinya, sebentar lagi, sebentar lagi maka kepuasannya terealisasi. Satu tancapan yang dalam membuatnya bergetar, mata indah pria itu memejam rapat, menikmati sisa ejakulasi yang begitu dirindui. Ia hirup dalam-dalam aroma istrinya, memabukkan.

Pria dewasa itu tumbang, menetralkan degup jantung serta napasnya yang memburu. Ia menyingkir ke samping, membiarkan istrinya meraup udara secara bebas. Satu kecupan diberikan Syamsul pada kening Raisya.

Mereka membenarkan letak tidur hingga gerakan Syamsul tertahan, karet yang melekat di kejantanannya sudah mengembung, penuh cairan. Ia bangkit perlahan, merampas celananya dan berjalan gontai ke kamar mandi.

Rasanya kalau membersihkan diri sekarang ia masih belum puas. Maka dari itu Syamsul cuma membuang lateks bekas percintaannya tadi dan mencuci tangan. Ia lupa beli berapa alat kontrasepsi itu, seingatnya dua atau tiga. Cukuplah sepanjang malam ini.

Baru keluar dari kamar mandi pandangannya langsung tertuju ke sang istri yang telah membalut tubuh polos nan seksinya dengan kemeja Syamsul, jelas kebesaran di tubuh kecil itu namun di titik tersebut sang pria merasa bergairah lagi.

"Aku pikir Mas mandi." Ia mengerutkan kening.

"Can we do it again?" Syamsul mendekat terburu, ia ciumi wajah Raisya, berhenti di bibir, miliknya menekan lembut dan konstan, hanya seperti sentuhan pelan, tidak mengikut cumbuan.

"Besok kamu kerja, Mas." Meski menasehati begitu, tapi lengan istrinya sudah mengalung, mengikis jarak mereka. Hidungnya digesek perlahan ke milik sang suami, dengan maksud menggoda.

"You said that but you teasing me like this, huh?" Salah satu tangan Syamsul mengangkat paha kiri istrinya, menahan di daerah pinggang. Seingatnya sang istri tidak memakai pakaian dalam di balik kemeja yang ia kenakan ini. Dengan senyum penuh maksud, tangannya yang lain menurunkan celananya sendiri. Panggilan berahi itu sudah menampakkan diri, siap berperang lagi.

"Mas?!" Raisya tersentak, kewanitaannya terasa penuh kembali, bersamaan kakinya yang lain ikut diangkat. Kedua tangannya langsung mengalung erat, takut terjatuh.

Posisinya kini macam digendong oleh suaminya, namun yang jelas ganjal adalah kedua kelamin mereka telah bersatu.

"I just realize about another position in sex activity." Syamsul mencium bibir istrinya selagi berjalan lambat mendekati dinding kamar. Di sana Raisya ia sandarkan.

Syamsul melepas tautan bibir mereka, ia merutuk. "Aku lupa kontrasepsinya!"

Raisya mengerutkan alis, baru saja ingin menjawab, tubuhnya dilempar halus ke ranjang samping mereka. Pria itu mendekati celana kerjanya dan merogoh satu benda yang sama seperti sebelum kegiatan mereka bermula.

"It feels so weird, tapi ini demi keamanan." Dirinya sudah siap, Syamsul meraih kaki Raisya yang masih termenung di tempat bersama kedua tangannya menyangga tubuh hampir berbaring.

Satu sentakan kembali diterima. Raisya berguncang lagi kala tempo suaminya terasa. Ia mendongak, dadanya sampai bergerak ke kanan-kiri tak beraturan hanya karena gerakan Syamsul.

Benar-benar suaminya ini. Tidak mau ia hamil tapi semangat menghamili.

Raisya tidak tahu bagaimana menyalurkan rasa nikmat yang menderanya, ia menarik kain kemeja Syamsul yang melekat di tubuhnya, kemudian ia gigit mengikut wajah memerahnya menatapi sang suami.

"Rai, don't use that face!" Syamsul menyentak, kemudian kepalanya mendekat, mencium ganas bibir istrinya. Raisya, ia hanya mampu menerima tanpa melakukan perlawanan. Tubuhnya dijajah dan parahnya wanita itu tidak berniat menolak.

Ia sudah tidak punya apapun lagi, segala hal dalam dirinya, milik Syamsul seorang.

*****
• bertalian •

DaimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang