19. Akhir dari persahabatan

61 3 0
                                    

☀☀☀

Siang itu aku mendengar teman-teman bang Ijal datang aku juga membawakan minum untuk mereka. Awalnya hanya terdengar tawa dan candaan keseruan mereka tapi tiba-tiba semua senyap sampai mereka pamit pulang. Kulihat bang Ijal termangu dan berlalu kekamar dengan gontai.

Aku yang membantu bunda membuat kue terhenti.

"Bun, Abang kenapa?"

"Kenapa memangnya Nit?"

"Keliatannya galau bun."

"Coba kamu samperin." Dan aku segera menuju kamarnya. Tak terdengar apapun didalam, aku berusaha mengetuk pintu tapi tak ada jawaban.

Karena khawatir aku membuka pintu perlahan kamarnya dan kulihat disana bang Ijal tidur dengan menutup wajahnya dengan bantal. Perlahan kudekati dan duduk dipinggir kasur.

"Bang lo kenapa?" Dan dia tidak menjawab. "Abang lo kenapa sih?" Tanyaku lagi dan menyentuh tangannya. Perlahan ia membuka bantal dan terlihat sedikit wajahnya.

"Sono, gue ngantuk mau tidur." Katanya dengan suara agak berat. Aku masih duduk dikasur.

"Gue mau tidur. Lu keluar sono terus tutup pintunya." Kali ini aku tak mengelak dan segera pergi sesuai dari permintaannya.

"Kenapa Ijal?" Tanya bunda setelah aku kembali ke dapur.

"Ngantuk katanya." Jawabku singkat dan bunda hanya mengangguk. Apa yang dikatakan tadi, aku merasa matanya sedikit sembab.

Lugas menelfonku dan kami bercengkrama ini cukup mengobati rasa rinduku. Hingga telfon kami terputus karena bunda mengajakku makan malam. Tapi disana tak ada bang Ijal.

"Bun bang Ijal mana?"

"Bunda udah ke kamar tapi dia bilang belom laper, biarin deh dia nanti aja." Kata bunda sedikit kecewa karena bang Ijal tidak ikut makan bersama.

Setelah makan ku intip dia masih dalam posisi tidur. Aku mendekati bunda untuk menanyakan tentang bang Ijal tapi ternyata bunda sudah tau alasannya mengapa bang Ijal bersikap seperti itu tapi bunda menyuruhku menenangkannya tanpa memberi tahuku apa alasannya.

Aku membawakan makanan untuknya dan menaruhnya diatas meja.

"Bang, makan dulu nih." Kataku pelan dia hanya diam. Aku duduk mendekatinya.

"Kenapa sih lo bang, sampe ngak mau makan gini? Kalo ada masalah diomingin bang jangan kaya gini bikin khawatir gue sama bunda." Kata ku kesal melihatnya dia masih menutup wajahnya dengan bantal. Dia membuka bantal dan mengusap wajahnya.

"Sorry bikin kalian khawatir gue gapapa kok." Katanya lalu pergi kekamar mandi.

Dan aku melihat foto dalam frame di kasur. Foto bang Ijal dan mbak Hanin iya aku hafal dengan foto itu. Foto yang aku ambil beberapa tahun lalu saat mbak Hanin dan bang Ijal deket.

Bang Ijal keluar dari kamar mandi dan melihat ku memegang foto itu dan dia duduk sambil makan makanan yang aku bawakan. Raut wajahnya masih sama terlihat kacau, datar dan entahlah aku tak bisa menggambarkan.

Aku tak berani bertanya sampai dia selesai makan. Belum menyelesaikan makannya dia langsung mengambil foto itu dariku. Kami saling diam sejenak, aku tak tahu apa yang terjadi dan apa yang dipikirkannya. Otakku penuh dengan pertanyaan.

"Lu masih inget foto ini Nit?" Aku hanya mengangguk.

"Hanin dia sahabat gue kita kenal udah lama sejak SMP lo tau sendiri gimana gue deketnya sama dia kemana-mana bareng, ga pernah ada masalah apapun dari kita, kalaupuna ada kita selalu selesaiin masalah baik-baik dia orang yang supel, ramah, pinter dan baik." Katanya sambil menatap foto itu dalam-dalam.

"Dia juga manis" kali ini dia tersenyum.

"Udah lama persahabatan kita berjalan sampai akhirnya gue rasain sesuatu yang beda, bukan sebagai sahabat, gue ngerasa pengen lebih." Lanjutnya membuat aku ingat tentang aku dan Lugas.

"kami SMA barengan sampe akhirnya kami jalanin bareng dengan status lain bukan lagi sahabat tapi pacar. Gue pikir dengan hubungan itu kita bakal semakin deket dan semakin seru karena kita udah kenal satu sama lain tapi ternyata enggak. Kita jadi sering berantem karena sering beda pendapat meskipun kita mutusin buat satu Universitas tapi semua hal kecil bikin kita berantem." Dia terlihat mengenang masa-masa itu. Menarik nafas dalam dan menghembuskannya berat.

"Saat kita udah terbiasa dengan status pacaran, justru selalu ada orang lain yang ngusik dari mulai teman sampai orangtua Hanin nggak ngerestuin kita." Aku belum mendengar sejauh itu yang ku tahu mereka hanya pacaran dan entah bang Ijal putus dengan mbak Hanin tanpa aku tahu alasannya.

"Akhirnya kita putus. Gue pikir status pacaran kita aja yang putus Nit, ternyata enggak persahabatan kita merenggang sampai akhirnya kita lost contac dan nggak pernah ketemu lagi." Dia menunduk wajahnya seperti ada penyesalan disana.

Dan aku tahu mbak Hanin pindah. Lalu bang Ijal yang terus menetupi kesedihannya dengan main games terus, sampe setahun lebih bang ijal nutup diri hingga akhirnya ia punya pacar yang sekarang. Sampai sekarang aku tahu dan memahami itu tapi aku tak tahu perasaan bang Ijal yang sesungguhnya.


"Sampai hari ini, tadi temen gue bilang abis ngehadirin undangan pernikahan Hanin di Semarang." Suaranya semakin melemah. Aku ikut sedih melihatnya bahkan aku juga terkejut mendengar mbak Hanin menikah.

"Bang Ijal masih ngarepin mbak Hanin?" Tanyaku dengan hati-hati dia masih diam dan perlahan menatapku.

"gue ga ngarepin Hanin Nit, gue cuma kecewa sama dia. Kita sahabatan dari SMP dan sempet deket tapi dia seolah nggak nganggep gue ada."

"Mungkin undangannya belom nyampe bang?" Aku menenangkan.

Dia menggeleng dan mengusap wajahnya lagi. "Gue tahu gue mantannya tapi ya harus dia inget gue juga sahabatnya. Gue kecewa bukan sebagai mantan tapi gue kecewa sebagai sahabat. Dan gue ngerasa nyesel pernah ngeresmiin hubungan persahabatan jadi pacaran yang cuma ngerusak hubungan yang udah tertata rapi."

Tiba-tiba dadaku terasa sesak tak mampu berkomentar apa-apa. Teringat hubungan antara aku Lugas, Nessa, Alif, dan Adam. Aku tiba-tiba merasa takut berubahnya hubungan kita. Terutama aku dan Lugas.

"Gue pikir persahabatan gue bakal baik-baik aja tapi ternyata semua berubah." Lalu bang Ijal kembali membenamkan dirinya dengan selimut dan membelakangiku.

Aku pergi meninggalkan kamar bang Ijal. Sebelumnya bang Ijal juga seperti ini tapi itu beberapa tahun yang lalu saat mbak Hanin dan bang Ijal putus.
Aku termangu dalam kamar memikirkan persahabatanku dengan Lugas dan juga perasaanku terhadapnya.

Entah kenapa yang awalnya ku ingin mengungkapkan perasaanku tiba-tiba keinginan ku lenyap. Handphone ku berbunyi membuat ku tersadar dari lamunanku dan ku lihat dari Lugas ternyata itu telfon dari Lugas. Aku yang selalu bersemangat saat melihat dia menelfon sekarang enggan mengangkatnya. Aku hanya bisa menatap langit melalui jendela kamar dan membiarkan Lugas menelfonku lagi entah sudah berapa kalinya.

☀☀☀

THE BEST FOR YOU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang