Kembali ke hari yang padat, saat jadwal kampus telah tersusun rapi sebagai agenda hari ini. Sejak kejadian masuk rumah sakit, aku tak lagi meneruskan dietku, hanya sedikit menjaga pola makan, dan tidak memakan sembarang lemak.
"Padahal udah turun 5kilo" aku menopangkan kepalaku di atas meja kelasku.
"Kenapa sih? Masih pagi udah merengut gitu?" Ara meletakkan tasnya tepat di sampingku.
"Aku gagal diet, gara-gara sakit." Jawabku melemas.
"Udahlah, gausah dipikirin. Toh beberapa hari ini gaada yang bully kamu kan?"
Aku mengangguk, benar juga. Beberapa hari ini denny gak masuk, teman-teman yang lain juga tidak memanggilku babi, sedikit banyak aku juga merindukan panggilan itu.
"Baguslah" aku masih lemas hari ini.
"Mau temani aku ke perpustakaan? Ada beberapa buku yang harus di pinjam." Ara bangkit dari tempat duduknya.
"Baiklah." Aku juga bangkit.
Pluk!
Setangkai mawar putih itu terjatuh dari dalam tasku, akibat dari resleting yang belum ku tutup."Mawar putih?" Ara memungut mawar itu di lantai.
"Bukan apa-apa. Aku beli tadi di depan." Jawabku spontan.
"Depan mana?"
"Depan.. depan rumah." Apa aku terlihat gugup?
Untung saja ara percaya dan melanjutkan langkahnya, sebenarnya mawar ini ku ambil dari buket bunga pemberian danta, entah mengapa tapi terasa spesial, mungkin karena ini pertama kalinya ada lelaki yang memberiku bunga, ya meski aku tau ini hanya sebagai ucapan rasa bersalah.
****
Akhir-akhir ini aku melihat danta ada dimana-mana. Tidak terlewat juga di perpustakaan ini, ia duduk tepat di meja samping rak A, bersama seorang gadis dan beberapa tumpuk buku.
"Itu siapanya danta?" Bisikku kepada ara.
"Itu vanya namanya, pacarnya danta. Aku dengar mereka pacaran sejak SMP."
"Satu smp? Satu sma juga?"
"Sma nya beda sekolah, tapi satu kampus lagi."
Wah, pertanda jodoh, aku masih terus menatap mereka, gadis itu terlihat cantik dengan rambut ikal tergerai panjang, tubuhnya juga termasuk body goals dan kulitnya putih memikat. Terlintas kalimat terakhir danta di rumah sakit yang tak selesai karena kehadiran ara, danta sangatlah lembut, wajar saja jika vanya betah selalu berada disisinya.
"Sayanggg.." suara itu terdengar sangat pelan.
"Apa?" Danta masih fokus dengan buku-bukunya.
Letak kami duduk tidaklah jauh, danta di depan rak A, dan aku di depan rak B, aku bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas.
"Jangan nguping, nanti iri." Bisik ara berusaha mengalihkan pandanganku.
"Cupp.. muah"
gadis itu tiba-tiba mencium pipi danta, meski ia berusaha menutupi ciumannya dengan buku tebal, tapi sisi dudukku membuatku bisa melihat semuanya dengan jelas.
"Danta?" Aku menelan ludah melihat pemandangan didepanku.
Deg.. deg.. deg.. senyuman vanya yang manis, pipinya merona setelah mencium danta, mungkin begitu banyak kebahagiaan yang danta berikan, sehingga gadis itu terlihat sangat bahagia.
"Hei, kamu kenapa?" Tanya ara mengangetkanku.
"Eng.. enggak."
Entahlah, ada sisi hatiku yang sepertinya tertusuk belatih, apa mungkin aku iri sekali lagi dengan orang lain? Iri dengan hidup vania yang juga sempurna? Atau hanya karena aku belum pernah merasakan namanya pacaran?
Aku melirik ke arah tasku, kelopak mawar putih itu terlihat dari resleting yang belum juga ku tutup, sedikit layu, tapi masih saja ku simpan.
"Wakeup alexis. Jangan terlalu baper cuma karena dia ngasih kamu mawar putih. Tanda cinta itu mawar merah. Mawar putih cuman karena dia minta maaf. Itu doang!"
Batinku berteriak, satu sisi menghibur, dan sisi yang lain menjatuhkan. Aku menutup mataku dengan buku, jangan lagi ku lihat pemandangan romantis ini di depan mataku.
"Ayo pergi." Aku menarik tangan ara.
"Hei, aku belum selesai."
"Oke, baca lah sendiri. Aku pergi."
Sigap, aku langsung meninggalkan tempat itu, melintas melewati sebuah tong sampah kering milik perpustakaan dan meninggalkan mawar putihku di dalamnya, persetan dengan ara yang tak mau pergi, aku tak tahan, aku bingung dengan sikapku sendiri.
"Apa ini? Kenapa aku marah? Itu pacarnya, wajar saja dia bermesraan."
Aku berdiri di balik dinding setinggi dadaku, semilir angin membelai rambutku membuatku memejamkan mata untuk sejenak, sejuk, ku biarkan angin ini masuk ke sela-sela hatiku, mendinginkannya dan sangat menenangkannya.
"Ini punyamu?" Seseorang menepuk bahuku.
"Danta?" Aku langsung membalikkan badanku.
Mata kami berhasil bertemu, kulirik dalam genggaman tangan danta, ada setangkai mawar putih yang tadi sudah ku tanggalkan di tong sampah itu, aku masih berdiri membeku, danta dengan lembut memberikan bunga itu padaku.
"Aku beliin ini bukan buat di buang." Raut wajahnya sangat datar.
Kami masih bertatap satu sama lain, tanpa saling menjelaskan apapun. Apa aku beku sekarang? Aroma tubuh danta sangatlah harum, menyeruak di antara rongga hidungku.. dantaaa..
"Danta? Kenapa lama?" Vanya muncul dari balik pintu.
"Vanya?" Aku buru-buru menyembunyikan bunga dari danta di balik badanku.
"Cepat sembuh ya lexis, jangan sakit-sakit lagi." Danta langsung mengubah raut wajahnya.
"I-iya danta."
Lelaki itu meninggalkanku, melangkah menuju kekasihnya, dan memeluk kekasihnya dengan penuh kasih sayang, sesekali ciuman itu terlihat mendarat di puncak kepala kekasihnya.
"Dibanding vanya, mungkin aku memang lebih pantas menjadi pembantunya, dibanding harus bersaing dengannya.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta untuk Danta
RomanceJatuh cinta? Bukankah hal yang wajar? Tapi bagaimana dengan orang yang jatuh cinta untuk pertama kali? Lalu berfikir bahwa cinta yang ia miliki benar-benar salah? Perjalanan alexis begitu terjal untuk membahagiakan danta, meski harus membagi cintany...