BAB 7 - Memori

531 29 0
                                    

"Namaku ara."

"Kamu tau lex, orang yang cantik itu gak selalu bahagia. Setiap orang pasti punya kekurangan sendiri."

"Sahabat itu tidak di nilai dari kekurangan dan kelebihan, tapi dari bagaimana cara kita saling menjaga"

Air mata rasanya masih tak bosan mengguyur pipiku, semua kalimat ara masih terngiyang dikepalaku, tak pernah ku pahami apa rencana tuhan hingga memintanya kembali secepat ini. Setelah acara pemakamannya, semua keluarga kembali kerumah, begitu juga dengan warga yang membantu memakamkan.

"Araaaa.." panggilku lirih.

Namanya tertulis jelas di permukaan nisan yang kini hanya bisa ku raba sebagai tanda rinduku. Aku akan merindukan segalanya, tawanya, caranya menarik tanganku, caranya memintaku makan, dan hingga caranya memelukku saat aku kehilangan kesabaran.

"Nih, minum dulu. Kamu pasti haus." Danta berjongkok di dekatku seraya memberikan sebotol air mineral.

"Makasih dan.." kuteguk isi botol bening itu hanya untuk melepas sedikit dahagaku.

"Polisi udah ngurus semuanya, sekarang mending kita pulang."

"Enggak dan, aku masih pengen nemenin ara disini." Aku tersenyum simpul.

"Kamu belum makan, nanti kamu kurusan, ara pasti ga suka liat kamu jadi kurus." Lanjut danta padaku.

Aku hanya bisa menunduk berpangku pada kedua lenganku, lagi-lagi airmata itu tak tau tempat, ia menetes bahkan di hadapan danta sekalipun.

"Cuma ara yang aku kenal di kampus, cuma ara yang mau deket sama aku. Cuma araa.." aku masih tidak melanjutkan kalimatku.

"Dan aku." Sahut danta memotong kalimatku.

"Maksudnya?" Aku memicingkan alis.

"Dan aku yang kamu kenal, yang bakal gantiin ara buat ngehibur kamu, kapanpun."

Entah kenapa, lelaki ini terlalu baik bahkan jika hanya menjadi temanku.. aku memandangnya sejenak, lalu mengembalikan pandanganku ke arah makam ara.

"Kalo kamu nangis, ara juga pasti sedih." Perlahan ku rasakan jemari danta menyentuh pipiku.

Jarak wajah kami semakin dekat, jantungku berdebar, mata danta terlihat sayu tak bertenaga, mungkin karena begadang semalaman mengurusku yang tak juga mau pulang dari tempat ara.

Maafkan aku danta..

****

Bagaimana pun hidup harus tetap berjalan, kematian ara menjadi trending topik di kampus, siapa yang tak mengenalnya? Gadis cantik yang terkenal di kalangan mahasiswa ini berakhir tragis. Aku tak begitu perduli dengan bisik-bisik yang melewati telingaku. Dukaku saja belum sembuh, bagaimana aku bisa perduli dengan mereka.

"Ara.."

Aku menatap kosong bangku tempat ara biasa menggodaku, rasanya aku belum terbiasa dengan semua ini. Apa yang akan aku lakukan setelah kepergiannya? Aku kembali mengisak, dadaku lebih sesak daripada saat aku melihat danta mencium kening vanya.

"Hei, sampe kapan mau nangis?" Seseorang mengusap rambutku.

"Danta?" Aku mengucapkan namanya dengan sisa tenaga.

"Kita bolos aja yuk hari ini, aku ajakin jalan-jalan. Biar ga sedih."

"Mau kemana?"

"Mantai, dan liat sunset. Mau?"

Daripada terus berdiam diri sampai dukaku hilang, lebih baik berusaha menghilangkan dukaku lebih dini bukan. Kata orang, orang yang sudah meninggal akan bersedih saat ada airmata yang jatuh untuknya.

"Gimana? Mau nggak?" Tanyanya sekali lagi.

"Boleh.." aku langsung saja bangkit dari bangkuku.

Tangan danta dengan cepat menyambar tanganku dan menggandengnya di sepanjang jalan, beberapa gadis tentu saja melihat pemandangan ini, dengan mata sinis dan gumam-gumam kecil. Aku melirik ke arah tubuhku sendiri, memang tak layak rasanya aku ada di gandengan danta.

"Berhenti danta." Aku berusaha melepaskan tanganku.

"Gak enak diliat yang lain, aku jalan sendiri aja."

Aku mencoba memberi jarak untuk tubuh kami, danta hanya menggeleng perlahan. Jangan sampai vanya melihatnya, untuk alasan apapun, tapi menggandeng tangan kekasih orang lain adalah salah. Sangat salah.

"Ayo masuk." Danta membukakan pintu mobilnya untukku.

"I-iya."

Apa aku lebih gendut lagi sekarang, kenapa sabuk pengamannya lebih susah di pasang? Aku terus berusaha menariknya tapi tetap tak sampai.

"Gini caranya.."

Tanpa ku minta, kedua tangan danta langsung membantuku, menarik sabuk pengaman itu dan membuatku merasa nyaman.

"Nah, sudah. Sekarang enak kan?" Tanyanya mengundang anggukanku.

"Danta.." panggilku pelan.

"Iya?"

"Boleh aku tanya sesuatu?"

"Tanya aja."

"Kamu gak malu jalan sama aku?"

Ciiittttt!!
awh! Teriak kami berdua hampir bersamaan. Mungkin dia terkejut dengan pertanyaanku.

"Maaf-maaf. Aku gak paham pertanyaanmu." Jawabnya.

"Iya, maksudku, aku adalah cewek paling cupu di kampus, dan kamu?"

"Aku? Aku cowok yang biasa-biasa aja di kampus. Yakan?" Ia tersenyum manis.

"Tapi aku gendut.."

"Yang cantik tak selalu bisa menghargai pengorbanan, yang seksi tak selalu bisa berjalan dengan kesederhanaan, apalagi yang sempurna. Apa mereka mengerti bagaimana caranya menghargai? Berat badanmu bukan ukuran, semua hubungan dimulai dari hati. Hubungan apapun itu. Benar?"

Aku mengangguk setuju. Mungkin alasan tuhan mengenalkanku pada danta adalah untuk menggantikan ara sebagai sahabatku, ya.. hanya sahabat..

Cinta untuk DantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang