Hari masih begitu pagi ketika aku membuka mata, beberapa panggilan tak terjawab sudah ada di layar ponselku. Panggilan dari danta, kenapa dia meneleponku sepagi ini?
"Hallo, hallo danta." Aku meneleponnya balik.
"Lexis, aku gak bisa ke kampus hari ini."
"Tapi kenapa dan?"
"Aku dirumah sakit, papa aku kecelakaan."
Deg! Pantas saja danta meneleponku dari pagi, mungkin dia sedang panik dan butuh tempat bercerita. Aku tertegun, tanganku terasa ringan dan bergetar, danta menyebutkan nama dan nomor kamar rumah sakit yang ia tempati, entah harus berbuat apa? Apa aku harus kesana? Tapi apa hakku di mata keluarga danta?
"Ma, lexis pergi!"
Aku bergegas keluar rumah dan mencari taxi, urusan pendapat keluarga danta biarkan itu ku pikirkan nanti. Yang terpenting sekarang ialah aku tak bisa membiarkan danta sendirian.
"Semuanya pasti baik-baik aja sayang." Gumamku dalam hati.
****
"Danta.."
Danta berdiri di pelataran ruang icu, melihat papanya dari balik kaca bening yang menjadi pembatas, aku mulai menghampirinya, ku sentuh bahunya yang terasa bergetar. Wajah danta jauh dari kata tenang, air mata sudah membasahi seluruh permukaan wajahnya, rasanya aku ingin menangis juga melihatnya dalam keadaan yang buruk.
"Lexis.."
Tubuh danta jatuh dalam pelukanku seketika aku datang, air matanya membasahi permukaan baju yang ku kenakan. Ku cium kening lelaki itu untuk sedikit menenangkannya.
"Hei, semuanya akan baik-baik saja. Ayolah jangan nangis." Ucapku berusaha menghibur.
"Danta!!"
Derap langkah kaki yang cepat itu membuat kami serentak memalingkan pandangan, aku mundur beberapa langkah saat kulihat vanya menghampiri danta.
"Lexis? Danta? Semuanya baik-baik aja kan?" Vanya menggenggam tangan danta dengan erat.
"Papa, papa kritis." Danta menunduk penuh air mata.
Bukan saatnya untuk memikirkan hatiku di kondisu ini, yang aku rasakan hanya iba melihat danta yang bersedih. Sama sekali tak terlihat keceriaan di wajahnya.
"Gimana dok? Papa saya?" Danta buru-buru menghampiri seorang dokter yang keluar dari ruang icu.
"Tenang saja, pak erwin sudah membaik, kalian bisa masuk, tapi tolong tenang, ia masih butuh banyak istirahat." Jelas dokter berjas putih itu.
Langkah kaki kami bertiga perlahan-lahan menyusup ke dalam ruangan, papa danta sudah terbangun, tapi masih dengan semua alat yang memenuhi tubuhnya. Ia terlihat begitu lemah.
"Papa.." danta duduk di kursi samping ranjang.
"Om erwin.." vanya menyusul menggenggam tangan papa danta dengan lembut.
"Danta.. vanya.." suaranya terlihat sangat rapuh.
"Iya pa, danta disini paa.. papa bakal baik-baik aja.."
Jemari lemas papa danta menarik tangan keduanya, tangan danta dan vanya, ia menyatukan tangan keduanya dengan tangannya sendiri diletakkan paling atas. Aku mundur beberapa langkah, takut menjadi pemandangan yang buruk di antara mereka.
"Papa ingin kalian segera menikah, papa tidak punya waktu lagi.."
"Iya pa, danta bakal nikahin vanya. Tapi papa sembuh paaa.. papa sembuhhh.." kepala danta menopang di perut papanya, tangannya bergetar dan tangisnya pecah.
Menikah?
Apa yang aku dengar baru saja? Egois! Kenapa aku menangis disaat seperti ini? Aku menyeka butiran air mataku, berusaha membuat perasaanku mengerti bahwa memang ini yang akan terjadi suatu hari nanti.Tuuuutttttt.. tuuuutttt..
"Papaaaaa!!!!!!!!"
"Om erwinnnnn!!!!!!"
Keduanya berteriak histeris, alat dokter itu telah bergaris lurus kini. Tangan papa danta masih menggenggam keduanya, kudapati danta terbangun dari duduknya, ia mengkoyak seluruh tubuh lelaki yang paling ia cintai itu. Beberapa dokter datang untuk melihat keadaannya.
"Papa!! Jangan tinggalin danta paaa!!" Danta terjatuh di lantai dengan air matanya yang deras.
"Dantaaa.." aku melangkah mendekat.
Air mataku turun melihat keadaan buruk ini, perlahan kain putih itu ditutupkan setelah beberapa kali dokter menggeleng. Aku baru menemui lelaki ini sekali, belum sempat ku katakan bahwa aku akan memperjuangkan danta, merebut hatinya untuk bisa bersanding dengan danta, tapi ia bahkan tak pernah mengenalku.
"Om, bangun om.. omm bangunnn!!" Aku menghampiri jasad om erwin.
"Jangan tinggalin danta om!! Cuma om yang bikin danta kuat!!" Teriakku tak karuan.
Vanya terkulai lemas menggenggam erat tangan om erwin, danta menangis mencium kaki papanya itu, sedangkan aku menyesalkan semua kejadian yang bahkan baru saja terlewat di mataku.
"Bangunnn paaa!! Danta gak bisa hidup sendirian!!"
"Om, tolong bangun om, alexis bahkan gapernah mengenal om, alexis pengen om lihat semua perjuangan danta buat bahagiain om, alexis pengen om terus ada di samping danta, danta sayang banget sama om" gumamku dalam hati.
"ENGGAAAAKKKKKKKK!!"
Teriakan danta hampir saja memecahkan gendang telinga seisi ruangan, aku bahkan tak berani menyentuhnya, hanya ku tatap wajah mereka bergantian, masih segar di ingatanku saat danta bercerita kehilangan mamanya, dan sekarang ia kehilangan satu-satunya alasan untuk bertahan hidup, om erwin..
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta untuk Danta
RomanceJatuh cinta? Bukankah hal yang wajar? Tapi bagaimana dengan orang yang jatuh cinta untuk pertama kali? Lalu berfikir bahwa cinta yang ia miliki benar-benar salah? Perjalanan alexis begitu terjal untuk membahagiakan danta, meski harus membagi cintany...