Ini hari ke 7 sudah aku tidak pergi ke kampus, sejak kematian ara semangat belajarku berkurang, apalagi untuk pergi ke kampus, aku bosan mendengar ejekan yang terus menderaku tanpa henti. Babi lah, gendutlah dan lain sebagainya.
Tokk..tokk..tokk..
Masih sepagi ini? Siapa sih yang datang kerumah?
Aku berlari menuruni anak tangga dan bergegas menuju pintu depan rumahku."Iya tunggu sebentar.."
Cklekkk..
Brakkk..Ku tutup lagi pintu rumah setelah membukanya sedikit, sosok itu berdiri di depanku. Apa ini mimpi?
"Gimana bisa dia disini?" Mataku membulat sempurna.
"Hey lexis bukain!" Ia menggedor pintu rumahku hingga beberapa kali.
"Kamu ngapain disini?" Kubuka lagi pintu rumahku, kali ini lebih pelan.
"Mau ngajak kamu barengan ke kampus." Ia tersenyum sangat manis.
"Danta, aku gak akan ke kampus sampe beberapa hari lagi."
"Kenapa?"
Kami masih berdiri di depan pintu, aku sama sekali tidak berniat memintanya masuk, karena memang belum ada teman lawan jenis yang berkunjung kerumahku.
"Kamu baik-baik aja? Kamu marah ya sama aku? Aku punya salah?" Ia menghujaniku dengan pertanyaan beruntun.
Aku hanya menggeleng, memang ia tak memiliki kesalahan padaku, hanya hatiku saja yang terlalu baperan..
"Enggak danta, aku udah baikan. Kamu udah gaperlu lagi tanggung jawab ngehibur aku." Aku mulai menunduk.
"Maksud kamu lex?"
"Aku tau, selama ini kamu baik sama aku cuma karena kamu kasihan sama aku. Aku gak punya temen di kampus, itu sebabnya kamu nemenin aku sejak ara meninggal." Mataku mulai berbinar mengucapkan rangkaian kalimat ini.
"Aku pengen kita jauh lagi, seperti sebelum kita saling kenal.." lanjutku.
Suasana menjadi hening untuk beberapa saat, apa yang di pikirkan danta setelah mendengar semua kalimatku? Danta tolong maafkan aku..
"Aku gak nyangka lex, aku serendah itu di mata kamu."
Ctar! Bagai disambar petir, kalimat pengakhir danta sebelum meninggalkan rumahku, serendah? Apa maksudnya? Siapa yang menganggapnya rendahan?
****
Aku memutuskan pergi ke kampus hari ini, kedatangan danta tadi pagi membuatku berubah fikiran. Kalimatnya masih terngiyang di kepalaku, mungkin danta memang tulus, dan akulah yang salah menganggapnya hanya memberiku sedikit rasa kasihan. Aku merasa menjadi gadis pemilik hati paling tidak konsisten di seluruh penjuru dunia.
"Danta.."
Lelaki itu berdiri di tengah lapangan basket, kampus masih lumayan sepi sehingga aku mampu membulatkan tekat untuk menemuinya.
"Alexis.." ia memusatkan pandangannya pada kedatanganku.
"Danta, aku mau.."
"Kalo kamu dateng cuma buat ngingetin aku biar ga deket-deket kamu lagi, tenang aja. Aku inget kok.." ia memotong kalimatku dengan nada tingginya.
Kini lelaki itu berdiri di hadapanku, tubuhnya yang tinggi dan tegap berhasil menghipnotisku hingga tak mampu mengungkapkan apa tujuanku sebenarnya. Aku harus sedikit mendongak ketika menatapnya, tapi sesekali menundukkan pandanganku lagi agar air mataku tak terlihat olehnya.
"Danta.."
Lelaki itu meninggalkanku, langkahnya semakin jauh, dan aku hanya terduduk di sudut lapangan sambil meneteskan airmataku, kenapa aku jadi sepayah ini? Siapa danta bagiku? Kenapa aku jadi memintanya pergi padahal aku tau hanya dia yang perduli dengan keberadaanku..
"Butuh tissue?" Suara lembut yang tiba-tiba mengalihkan pandanganku."
"Makasih." Aku mengambil tissue yang ia tawarkan.
"Namaku viona."
"Aku-aku alexis." Kami berjabat tangan.
Aku kembali larut dalam kesedihanku, tak perduli dengan gadis cantik yang tiba-tiba muncul di sampingku ini.
"Masih sedih gara-gara ara meninggal ya?" Tanya gadis itu.
"I-iya." Jawabku singkat untuk menutupi alasanku.
"Namanya sahabat, emang berat sih."
Tatapan gadis ini menerawang jauh, seolah tengah memikirkan sesuatu, bagaimana ia tau tentangku? Dan kesedihanku kehilangan ara?
"Kamu temennya ara juga?" Tanyaku menyambung pembicaraan.
"Aku gak kenal ara. Aku tau kamu aja. Ara sering jalan sama kamu."
Aku mengernyitkan dahiku, apa ini spektakuler? Ada yang menyadari keberadaanku?
"Bagaimana bisa?" Tanyaku lagi.
"Siapa sih yang gak kenal kamu? Mungkin menurut kamu banyak orang jahat di kampus ini yang ngebully kamu, tapi sebenernya mereka lagi berusaha bikin nama kamu terkenal, tanya aja semua orang, pasti tau kamu."
Gadis itu tiba-tiba bangkit dari tempatnya dan tersenyum padaku.
"Tunggu, viona."
"Iya?" Ia membalikkan badan seketika aku menghentikan langkahnya.
"Aku masih.." kalimatku tergantung lagi.
"Kamu itu bukan gak punya temen, kamu cuma terlalu takut buat punya temen. Bukan orang lain yang berfikir negatif tentang kamu, tapi sebaliknya."
Aku termenung, gadis itu meninggalkanku setelah kalimat panjang lebarnya. Apa benar aku yang terlalu takut?
Rasanya semua memori mencuat di kepalaku, hari pertama aku menjadi seorang mahasiswi sampai dimana detik aku meminta danta menjauh dariku. Apa ini salahku? Apa aku harus meminta maaf pada danta?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta untuk Danta
RomanceJatuh cinta? Bukankah hal yang wajar? Tapi bagaimana dengan orang yang jatuh cinta untuk pertama kali? Lalu berfikir bahwa cinta yang ia miliki benar-benar salah? Perjalanan alexis begitu terjal untuk membahagiakan danta, meski harus membagi cintany...