BAB 1 - Alexis.

2K 50 1
                                    

Memulai hari dengan pagi yang baik, matahari yang terik dan kicauan burung yang asik. Jendela kamar itu perlahan-lahan ku buka, ku tepikan dua sisi tirainya sehingga jelas sudah pemandangan cerah kebiru-biruan.

"Sayaang.. kamu ngga mau makan?"

Aduh! Aku menepuk keningku sedikit lebih keras dari biasanya. Ini baru pukul 6 pagi, dan seperti biasa panggilan itu terdengar lagi di telingaku.

"Iya ma.. aku turun.."

Aku segera menuruni anak tangga yang berjarak tak jauh dari kamarku, tepat di anak tangga terakhir, kesemutan berhasil melumpuhkanku.

"Awhhhh" aku duduk tak berdaya.

"Alexis baik-baik aja?"

Mendengar pertanyaan beruntun dari mama, aku hanya mengangguk pelan. Tidak masalah. Hanya jatuh seikit saja.
Aku segera kembali ke meja makan, beberapa hidangan telah tersaji di atasnya. Mama, papa, dan seorang kakak laki-laki ku.

"Lex, kamu hari ini mau kemana?" Tanya kakakku.

"Kampus aja kak. Kenapa emang?"

"Ngga, nanya aja."

Tidak banyak bicara, aku melanjutkan acara makanku. Sepiring nasi goreng hangat dengan telur mata sapi di atasnya. Sempurna!

"Aku berangkat dulu ma.." selesai makan, dan aku segera mengangkat tas selempangku.

"Lexis." Teriakan mama seketika menghentikanku.

"Jangan perduliin orang-orang, yang penting belajar tekun aja." Mama tersenyum sementara aku hanya mengangguk mendengar perkataannya.

****

Kampus terlihat masih sangat sepi, hanya beberapa mahasiswi berkacamata yang datang lebih dulu untuk mengerjakan beberapa tugas, aku duduk mematung di sebuah kursi panjang depan ruanganku, sambil sesekali menghela nafas panjang, setiap kali masuk kuliah, selalu ada rasa tegang yang menyelimutiku.

"Hoy! Babi. Udah dateng?"

Glek! Inilah alasannya, aku mengarahkan kepalaku ke sumber suara, tak asing lagi bagiku. Dia pasti denny!

"Berhenti manggil aku gitu! Namaku alexis. Bukan babi." Bentakku berusaha mengumpulkan nyali.

"Hahaha.." lelaki itu tertawa tanpa cela.

"Nih."

Ia menyodorkan sebuah cermin kotak tepat di depan wajahku, aku memandang wajahku untuk sesaat, hingga air mata rasanya hampir saja jatuh membasahi pipiku.

"Byebye babi bulat.." ia melambaikan tangannya meninggalkanku.

Apa seorang teman selalu bercanda seperti ini?
Apa hanya aku yang terlalu terbawa hati, setiap kali mereka memanggilku dengan sebutan babi, rasanya sudut hatiku marah, dan sudut yang lain amat bersedih.

"Namaku alexis." Gumamku dalam hati.

Namaku alexis, gadis berusia 20tahun yang kini menjadi mahasiswi di salah satu universitas di kota pahlawan, surabaya. Dibanding banyak temanku, aku memang yang terbesar, tergendut dan yang memiliki nyali paling ciut.

"Lexis." Seseorang menepuk bahuku hingga lamunanku buyar sudah.

"Ara." Aku berusaha mengembangkan senyuman dari pipiku.

"Lexis, kok kayaknya kamu lagi sedih gitu?"

"Enggak kok ra.. tadi cuma ketemu denny aja, biasalah kena bully" aku menunduk malu.

"Kebiasaan sih si denny, sok ganteng banget."

Gadis ini namanya ara, berdarah thailand indonesia, dengan badan ideal dan kulit putih, sangat jauh dariku yang berbobot lebih dari 100kg dan bertinggi tak sampai 165cm.

"Udah gausah di ambil hati, kan emang si denny suka gitu kerjaannya."

Aku masih berjalan seraya menopangkan daguku di sebuah buku, terkadang aku merasa iri dengan ara, jangankan bullyan, bahkan tidak seorangpun mahasiswa kampus yang akan menolak jika diminta berpacaran dengannya, berbeda denganku yang hanya menjadi bahan ledekan di sepanjang hidupku.

"Hei lexis, kok diem aja sih." Lagi-lagi ara membangunkan lamunanku.

"Enggak kok."

"Pasti lagi mikirin sesuatu kan?" Ara mengernyitkan keningnya.

"Iya ra, lagi mikir kenapa aku bisa segendut ini?"

Aku menyandarkan tubuhku di bangku kelas, sambil sesekali menatap kedua telapak tanganku yang terlihat seolah membengkak, meski tidak demikin.

"Kenapa sih masih mikirin gituan?" Aku hanya menggeleng mendengar pertanyaan ara.

"Mau kamu gendut, mau kamu kurus, cinta tidak dimulai dari semua itu. Cinta ditempatkan di hati, bukan di mata. So, mereka yang mencintaimu pasti akan tetap mencintaimu sampai kapanpun"

"Iya, kamu bener ra." Aku berfikir sejenak.

Apa gendut itu sebuah kesalahan? Ataukah dosa?

Aku masih berjalan perlahan, aku tak pernah meminta tuhan memberiku badan yang berlebih, jadi apakah itu salahku?

"Wanita cantik itu tidak selalu bahagia hidupnya, banyak orang memiliki masalah, yang bahkan mungkin lebih berat dari hanya sekedar dibully. Tapi mereka pintar bersembunyi, berpura-pura bahagia atas segala kelebihannya." Lanjut ara menenangkanku.

Aku masih melanjutkan langkah kakiku, sembari sesekali tersenyum tipis kehadapannya, benar juga apa yang ara bilang padaku..

Tak ada manusia yang tak bercela, karena tuhan selalu menciptakan kekurangan satu paket dengan kelebihan, tinggal bagaimana kita bersyurur saja..

"Hftttt.." aku menghela nafas panjang.

"Sudah.. sudah.." ara langsung memelukku dengan erat.

Prank!!
Hanya beberapa detik dari obrolan menenangkan kami, terdengar suara pemecah keheningan..

"Siapa itu?"

Cinta untuk DantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang