BAB 9 - Realita

537 27 2
                                    

Kembali ke rutinitas sehari-hari, pagi ini aku mengunjungi makam ara sebelum berangkat ke kampus. Ada taburan bunga-bunga basah di atasnya, sepertinya seseorang telah mengunjunginya, mungkin keluarga atau kerabatnya, sejak hari kematiannya, polisi mulai mengungkap fakta-fakta, di duga sahabatku meninggal karena bunuh diri, depresi berkepanjangan sebagai seorang pecandu narkoba, tapi aku sama sekali tak mengetahuinya bahkan.

"Ara, hari ini aku ke kampus, sejak kamu gak ada, aku gak punya temen buat ke kantin. Aku kangen kamu ra." Air mataku menetes lagi.

Ku cium nisan ara sebagai tanda rindu, aku tak bisa berlama-lama berduaan dengannya, meski dalam hatiku tentu saja aku ingin menghabiskan waktu seharian untuk bercerita dengan makam ara.

"Seeyou sayang." Aku melambaikan tanganku.

Hari ini jalanan padat, dan aku hanya punya waktu kurang dari sejam untuk sampai kampus dengan selamat sentosa. Bisakah? Aku menaiki motorku, melajukannya dengan hati-hati. Ini hari pertama aku datang ke kampus setelah kejadian pantai dan sunset bersama danta, apa yang harus ku lakukan?

"Gak sampe telat kan?" Gumamku kecil.

Ku letakkan motor kesayanganku berjajar bersama ratusan motor mahasiswa lain. Pemandangan kampus yang sama, hanya saja tidak ada yang menyambutku sekarang. Aku berjalan sendirian melewati lorong-lorong menuju kelasku.

"Danta?"

Aku melirik ke arah kanan lenganku, tak berjarak jauh dariku, danta duduk di pelataran kelas, bersama vanya, kekasihnya. Kepala gadis itu bersandar di bahu danta, dan danta hanya melirikku sekilas, setelahnya kembalu fokus kepada vanya.

"Fokus lexis, fokus!"

Aku mempercepat langkah kakiku, membelalakkan mataku, agar tak setetes air matapun ada di pelupuknya. Belum sampai di dalam kelas, aku masih bersembunyi di balik dinding gedung kosong kampusku.

"Dantaaa.." tangisku pecah tapi masih dengan volume yang pelan.

Badanku bergetar, kenapa aku sesedih ini? Harusnya aku berkaca! Danta hanya milik vanya, karena yang tampan hanya untuk yang cantik.

"Kak alexis. Kak-kakak kenapa?"

Aku langsung membalikkan badanku, erika sudah berdiri di hadapanku. Sepertinya dia melihat tangisku, aku buru-buru menghapusnya.

"Enggak rika, cuma kangen kak ara aja." Bohongku.

"Sa-sabar ya kak lex-lexis." Hibur rika masih dengan nada tergagapnya.

****

Suasana kelas sepi, sama sekali tidak ada yang mengajakku bicara, selain untuk bertanya hal penting, itu pun jika mereka membutuhkanku.

"Araaa.." aku menghela nafas panjang.

Disaat seperti ini, sudah pasti ara yang akan menghiburku tanpa banyak pertanyaan.

"Hei, kenapa sih diem mulu? Kantin yuk.. kan gaada dosen masian." Tiba-tiba lelaki itu berdiri di hadapanku lagi.

Danta.. awal mengenalnya, aku pikir sosoknya cool dan sombong, tapi mengapa akhir-akhir ini dia sangat baik padaku, apa hanya karena dia tau aku tak memiliki teman selain ara?

"A-aku gak laper. Aku lagi pengen sendiri."

"Lex! Lexis!" Teriak danta yang ku tinggalkan sendirian.

Maaf danta, aku hanya sedang kembali mencoba menerima kenyataan. Aku tidak ingin bergantung pada siapapun termasuk kamu, kepergian ara mungkin membawa duka, tapi itu bukan berarti aku bisa selalu menerima belaskasihmu, sorry danta..

****

Kembali kerumah setelah semua urusan di kampus selesai, mataku masih terlihat sedikit membengkak akibat menangis sepagian tadi. Saat melewati ruang tamu, aku hanya membisu. Entah mengapa hari-hari ini aku terlalu sibuk dengan pikiranku.

"Lexis? Sayang?" Mama membuka pintu kamarku.

"Iya ma?"

Wanita itu tiba-tiba saja memandangku dengan sayu, mungkin mama tau isi hati putrinya, tangannya lembut membelai rambutku, memeluk tubuhku dengan penuh kasih sayang. Ya tuhan mama, aku sedang berusaha menahan tangisku seharian, tapi kenapa mama menyempurnakan tangisku?

"Setiap orang pasti mengalami kehilangan, entah ditinggalkan atau meninggalkan. Mungkin jalan ara terhenti disini, tapi kasih sayang dan doa kamu ga pernah berhenti kan buat ara?"

Tanpa malu-malu ku peluk tubuh mamaku, meletakkan kepalaku di dalam dekapannya, apa yang mereka bilang benar, sebaik-baiknya tempat menangis, adalah pelukan mama.

"Jangan terus ditangisin, ara juga harus tenang disana sayang."

Tangan lembut itu terus membelai tanganku, entah apa yang sedang berperang dalam batinku saat ini, kesedihan kehilangan ara, atau kelecewaan menghadapi realita bahwa beberapa hari ini aku hanya sedang terbuai oleh rasa kasihan dari danta.

"Lexis ikhlas kok ma, lexis cuma sedih aja, kenapa ara perginya cepet banget?" Aku memandang mamaku yang tengah tersenyum menenangkan.

"Orang baik selalu di panggil duluan, ara baik kan sama lexis?"

"Iya ma, ara baik banget." Aku menyeka air mataku yang jatuh ke pipi.

Mama hanya mengangguk, lalu mengecup keningku dengan mata berkaca-kaca, mungkin mama mengerti apa yang tengah ku rasakan.

Ara, apa kamu lihat sekarang? Semenjak kamu pergi, aku benar-benar sendirian di tempat itu.. aku rindu kamu ra..

Cinta untuk DantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang