BAB 25 - Pertunangan.

443 23 2
                                    

Bipp.. bipp..
Suara ponselku berhasil membuatku berhenti mengerjakan tugas.

"Hallo sayang." Danta menyapaku dari sambungan di seberang sana.

"Iya sayang, ada apa?"

"Aku pergi kerumah vanya ya, tantenya pengen ngobrol katanya. Aku ga enak kalo ga dateng."

"Ooh, iyaiya. Ati-ati dijalan ya.."

Huft, hari ini dia kerumah vanya, aku hampir lupa jika cinta danta masih harus ku bagi lagi, beberapa hari belakangan aku hanya merasakan dia milikku saja.

"Yasudalah." Aku bergumam pasrah.

Kulanjutkan acara bersih-bersihku, hari ini sedikit longgar, aku bergulat dengan debu-debu nakal yang bersarang di kamarku.

"Lexis.. makan dulu sayang" mama mulai berteriak dari lantai bawah.

Sudah jelas keluarga akan berkumpul menjadi satu disana, aku menuruni anak tangga rumahku, sudah beberapa hari aku tidak menikmati makan malam dirumah, karena kesibukanku yang susah sekali ku kendalikan.

"Wahhh, enak-enak banget nih." Aku menarik kursi dan duduk di atasnya.

"Makanya, makan dirumah, ngewarteg mulu." Ceplos kakakku.

Tak ku hiraukan kalimatnya, buru-buru aku mengambil piring nasi dan beberapa lauk pauk. Makan malam kali ini tak mengenakan kertas bungkus seperti yang biasa ku lakukan jika terjebak tugas di kampus.

"Pelan-pelan sayang makanya, nanti keselek" mama tersenyum padaku.

"Ini udah pelan kok ma" aku tersenyum.

"Gimana kuliahnya lancar aja lexis?" Papa membuka obrolan denganku.

"Lancar paa.."

Aku memang jarang sekali berkumpul dengn keluargaku, waktuku lebih banyak habis di luar, jadi moment seperti ini tentu saja sayang untuk di lewatkan.

Bipp.. bipp..

"Pulang dari rumah vanya, aku kerumahmu ya. Ada hal penting yang harus kita bicarain."

Pesan singkat dari danta, aku penasaran, apa hal penting yang ingin dia bahas denganku? Aku melirik ke arah jam tanganku, mungkin dia masih perlu waktu untuk sampai dirumah.

****

"Tunangan?" Aku berteriak kaget.

"Iya, gitu kata tantenya."

"Tapi kenapa secepat ini? Bahkan kuliah aja belum selesai."

"Aku juga gak tau." Danta menundukkan wajahnya.

Pikiranku tiba-tiba menerawang jauh, masih ku ingat saat papa danta akan menghembuskan nafas terakhirnya, om erwin sangat ingin melihat danta menikahi vanya. Apa mungkin ini saat yang tepat untuk melepaskan danta?

"Aku gak mau nikahin vanya." Danta melanjutkan pembicaraan ini.

Aku menghampirinya yang masih duduk di bangku taman, apa yang lebih sakit dari ini? Menyarankan orang yang paling disayang untuk menikahi pacar pertamanya. Aku menarik nafas beberapa kali, berusaha menenangkan hatiku, agar aku tidak mengambil keputusan egois yang hanya akn menguntungkanku.

"Hei lihat aku.." aku mendongakkan kepala danta.

"Ini kan cuma tunangan, kalo kita emang jodoh, pasti kok kita bisa nikah.." aku berusaha menjelaskan kepada danta.

"Tapi lex, kalo nanti aku diminta buat nikahin vanya gimana?"

"Kan kita udah tau resikonya bakal gini, ini juga permintaan terakhir papa kamu, apa kamu tega buat gak ngabulin?"

Ayolah, aku sesak mengucapkan semua rangkaian kalimat ini, ku genggam tangan danta, ia berdiri di hadapanku kini, ku peluk tubuhnya erat, apa aku akan kehilangan danta sekarang? Air mataku tak bisa lagi ku hentikan, kenapa tuhan hanya memberikan kebahagiaan sesaat padaku? Aku menahan bibirku agar tak mengeluarkan suara tangis di hadapannya. Setelah semua cerita dari bibirnya, aku hanya harus mengikhlaskan segalanya.

"Aku gak akan nikahin vanya. Enggak!" Danta memelukku hingga aku hampir tak bisa bernafas.

"Kamu harus nikahin vanya, suatu saat nanti kamu bakal ngelakuin itu."

"Enggak lexis!"

"Danta comeon! Kamu gamau kan aku di anggap sebagai perusak hubungan? Perebut pacar orang?"

"Kamu bilang gini karena kamu gak sayang aku kan lexis? Kamu cuma main-main sama aku!"

"Danta!!" Aku membentak spontan.

"Plis lexis, aku gak mungkin ngelakuin ini!"

"Mungkin emang udah saatnya kita selesai, kalo diterusin, semakin jauh hubungan ini akan semakin sakit."

Aku melepaskan genggaman tangannya, langkahku menjauh dan danta masih membeku di tempatnya.

"Maaf danta, aku cuma gamau kamu ngelawan siapapun demi aku, aku rela seluruh dunia menuduhku buruk, bahkan meludahiku. Tapi aku gak bisa ngeliat itu terjadi sama kamu."

Aku berlari ke ujung jalanan sepi, sebuah taman bunga di area perumahanku. Tangisku pecah sejadi-jadinya, tubuhku bergetar, seraya hujan yang pelan-pelan membasahiku, aku tak ingin pulang dengan mata yang sembab.

"Dantaaaaaa!!!!!!!!!!!! Aku cinta kamuuuuuuuu!!!!!"

Tubuhku terjatuh, aku tak menginginkan hal lain selain bisa merubah takdir, aku bersyukur hujan turun agar aku tak terlihat sedang menangis lemah, meski aku tau airmataku sudah meleleh dengan hujan.

"Jika memang aku tidak di takdirkan dengan kebahagiaan, mengapa engkau membiarkanku mencicipi kebahagiaan ini tuhan? Dan sekarang hatiku akan mati pelan-pelan saat kehilangannya."

Cinta untuk DantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang