Begitu aku membuka mata, hal pertama yang terlihat adalah tumpukan barang di sebuah ruangan yang gelap. Masih sama seperti kemarin. Tangan dan kaki masih dalam keadaan terikat. Begitu pula dengan mulut. Ini bukan mimpi. Semua masih sama seperti sebelum aku tertidur.
Meskipun begitu, ada satu hal yang berbeda dari kemarin. Pundakku yang semula diliputi oleh hawa dingin, kini diselimuti oleh selembar kain hangat.
Tuan Penyekapkah yang menyelimutiku? Atau orang lain di bangunan ini?
Tidak. Hanya ada satu langkah kaki yang kudengar sejak kemarin. Tuan Penyekap pasti tinggal di sini sendirian. Kalaupun ada orang lain, dia pasti dalam keadaan tidak bisa berjalan, atau sedang pergi.
Sekuat tenaga aku mencoba bangkit dengan keadaan terikat kencang. Baru kali ini aku merasa duduk saja sangat sulit. Berkali-kali aku terjerembap ke karpet.
Oh ya, sejak kemarin, aku belum menyentuh ponsel. Mungkin dengan itu aku bisa meminta bantuan untuk keluar dari sini. Atau paling tidak, aku bisa mengabari ibu atau Ryan—pacarku.
Di mana ponselku? Keberadaannya tak tampak di mana pun. Aku juga tidak merasakannya di kantong celanaku. Tuan Penyekap pasti mengambilnya.
Ngomong-ngomong, pakaian yang kukenakan saat ini adalah piama yang dulu sering dipakai saat tidur. Sudah lama tidak melihatnya di dalam lemari dan tiba-tiba aku memakainya sekarang. Aku tidak ingat menemukan dan memakainya lagi sebelum berada di sini. Jangan-jangan ini adalah lucid dream? Atau sebagian dari apa yang kuingat sebelumnya hanyalah mimpi, dan inilah kenyataannya? Aku bahkan tak ingat bagaimana bisa berada di sini.
Hal terakhir yang kuingat adalah hari sabtu yang cerah, dan aku berkencan seperti biasa dengan Ryan. Kami bermain di amusement park. Setelah itu kami menonton bioskop, lalu makan malam bersama. Kemudian kami pulang ke rumah masing-masing. Malam itu dia tidak mengantar ke rumah karena ada urusan mendadak.
Saat di jalan pulang, ibu menelepon. Dia menyuruh agar segera pulang karena hari sudah larut. Aku mengatakan padanya bahwa saat itu sedang di jalan pulang, kemudian dia mengatakan kalau menungguku di rumah.
Setelah itu, aku menunggu bus terakhir datang di halte.
Setelah itu ....
Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi. Tidak tahu apa aku sudah sampai rumah dengan selamat, atau apakah aku sudah menaiki bus terakhir.
Pintu yang terbuka tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Tuan Penyekap datang lagi—lelaki yang tidak pernah kulihat sebelum berada di sini. Dia berjalan menghampiri dengan membawa senyuman seperti kemarin.
Dia berjongkok di hadapanku dan mengelus rambut.
"Selamat pagi, Elisa," sapanya.
Bagaimana dia tahu namaku?
"Aku sudah membuatkan sarapan untukmu. Tunggu se-bentar, ya! Akan kuambilkan." Tuan Penyekap kemudian berjalan ke luar ruangan.
Aku hanya memperhatikannya keluar ruangan kemudian kembali beberapa menit kemudian dengan membawa semangkuk bubur yang tak jauh beda dengan kemarin.
Tuan Penyekap berjalan ke arahku dengan riang. Dia berjongkok kembali di hadapanku, kemudian membuka penutup mulutku.
"Bukalah mulutmu!" perintahnya dengan sesendok bubur di tangan kanannya. Senyumnya tak lepas dari bibir meskipun matanya menatapku dingin. Aku tidak tahu apakah aku harus membuka mulut atau tidak, sehingga kuhabiskan waktu hanya untuk menatap sendok itu.
"Buka mulutmu sekarang atau aku akan memaksamu?"
Seketika kurasakan dingin menjalar ke seluruh tubuh. Dengan menahan gemetar, aku membuka mulut perlahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Escape (Edisi Revisi)
Mystery / Thriller((TELAH TERBIT)) Begitu Elisa terbangun, dia menyadari bahwa dirinya berada di dalam sebuah ruangan yang tidak dia kenali dengan keadaan terikat. Bagaimana dia bisa berada di ruangan itu, dia tidak ingat. Seorang lelaki datang dan merawat Elisa...