13

648 30 5
                                    

Sesuatu menepuk-nepuk pundakku.

"Elisa ... Elisa ...."

Dia membisikkan sesuatu padaku, memanggil-manggil namaku. Terus-menerus begitu. Aku mendengarnya dengan sangat jelas, tetapi badanku tak mau bereaksi. Kelopak mataku masih terlalu lengket untuk terbuka.

Kenapa kau memanggilku? Aku tidak ingin bangun sekarang. Biarkan aku tertidur sebentar lagi.

Kemarin—aku tidak tahu tepatnya jam berapa—Tuan Penyekap pulang ke rumah ini. Setelah beberapa kali berkeliling rumah, Tuan Penyekap kembali ke ruangan ini. Dia memberiku makan dan minum. Kami sempat berbincang sedikit, tetapi aku tidak begitu mengingatnya. Setelah itu, Tuan Penyekap menyuruhku tidur. Namun, tentu saja aku tidak melakukannya.

Setelah kurasa keadaan sudah aman, aku segera me-nyingkap selimut yang Tuan Penyekap pakaikan padaku sebelumnya—setelah membuka ikatanku tentunya. Aku mulai menguntai pakaian-pakaian yang kutemukan. Aku tidak tahu berapa jam yang kuhabiskan untuk melakukan itu, aku berhenti saat samar-samar kudengar suara ayam jantan mulai berkokok.

Aku segera menyembunyikan untaian yang kubuat, menutup karung semirip mungkin dengan sebelumnya, lalu mengikat badanku seperti semula. Tak lupa, aku juga menyelubungi diriku dengan selimut, meskipun sedikit sulit. Aku pun kembali tidur setelah itu.

Satu hal yang membuatku heran, padahal aku sudah tidur sebelum aku mulai menguntai pakaian-pakaian itu, tetapi sampai sekarang rasanya tidurku masih tidak cukup. Rasanya aku baru tertidur selama 3 menit.

"Elisa ... bangunlah!"

Tuan Penyekap masih belum menyerah. Sudahlah, dengarkan perkataanku dan biarkan aku tertidur sebentar lagi.

Setelah beberapa kali terus mengulang hal yang sama, akhirnya Tuan Penyekap berhenti melakukannya. Kemenangan berseru-seru di dalam benakku.

Sayangnya, hal itu tak berlangsung lama.

Tuan Penyekap mengangkat badanku dari belakang dan menyingkap bagian bawah kausku sedikit. Dia lalu menggerakkan tangan kirinya perlahan, menjelajahi perutku. Tangan satunya dia gunakan untuk menumpu dagu hingga leher depanku. Perlahan, kurasakan napasnya makin dekat dan makin dekat pada tengkukku.

Badanku terguncang bagai tersambar listrik. Kelopak mataku seketika terbuka. Kujauhkan badanku dari Tuan Penyekap dengan semangat. Tidak sedikit pun rasa kantuk tersisa di mataku. Aku menoleh ke belakang, melihat Tuan Penyekap.

Di sana terlihat senyuman penuh rasa puas tersungging di bibirnya. Aku menatapnya geram.

Tuan Penyekap menambah lebar untaian senyumnya.

"Aku tahu, kau akan bangun jika aku melakukan itu."

Begitu yang dia katakan. Memang, aku terbangun karena dia melakukan itu, tapi bagaimana jika tidak?

"Sekarang sudah siang, Elisa." Tuan Penyekap membuka penutup mulutku. "Kau harus bangun."

Tuan Penyekap menatapku yang masih mengerutkan kedua alis akibat tindakannya tadi.

"Kau marah?" tanyanya. "Kenapa? Bukankah wajar jika seseorang melakukan itu pada tunangannya?"

"Aku bukan tunanganmu."

"Cincin pertunangan kita sudah melingkar di jarimu."

"Itu karena kau yang memaksa."

"Kenapa kau tidak melawan, saat aku memasangkannya?"

"Aku memang sudah berusaha," gumamku. Aku lalu melanjutkan dengan suara yang lebih jelas, "Lagi pula, me-mangnya kau akan membiarkanku melawan saat itu?"

Tuan Penyekap terkekeh.

"Tentu saja, tidak."

Sudah kuduga. Karena itulah dia membiarkanku terikat saat itu. Yah, dia memang tak pernah melepaskan ikatanku, kecuali saat dia menyuruhku mengganti pakaian.

Tuan Penyekap kemudian bangkit.

"Aku akan mengambilkanmu makanan," ucapnya.

Setelah itu, dia keluar ruangan dan kembali tak lama setelahnya. Di tangan kanannya, dua lembar roti panggang tergeletak di atas piring. Dia lalu duduk di hadapanku.

Dia meletakkan piring itu di atas karpet, lalu memotongnya.

"Bukalah mulutmu!" perintahnya sembari memotong roti.

Aku tidak membukanya.

Tuan Penyekap menusuk salah satu potongan roti, lalu mengarahkannya pada mulutku.

"Bukalah mulutmu!" pintanya sekali lagi.

Aku masih tidak membukanya.

"Kubilang, buka mulutmu, Elisa!"

Suaranya terdengar lebih tajam dan dingin.

Aku tahu dia akan marah padaku, tapi aku juga harus menunjukkan kalau aku tidak akan terus-terusan menurutinya, paling tidak dalam hal sederhana seperti ini. Akan kutunjukkan kalau aku bukanlah boneka yang bisa dia gerakkan sesuka hati.

"Elisa!" Tuan Penyekap mempertajam suaranya lebih dari sebelumnya. "Aku yakin kau mendengar apa yang kukatakan. Buka mulutmu!"

Aku menatapnya tajam, tanpa berkata apa pun.

Tuan Penyekap balik menatapku tajam. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menggoyahkan pandanganku.

"Aku tidak ingin menggunakan kekerasan, Elisa."

Seketika dingin menjalar ke seluruh tubuhku. Jangan sampai dia menggunakan kekerasan. Aku tak bisa membayangkannya. Selama ini, saat dia marah—itu pun sudah lama—dia hanya menahannya, atau hanya suaranya saja yang terdengar dingin.

"Elisa!"

Tanpa perlu melanjutkan perkataannya pun aku sudah mengerti.

Dengan sedikit gemetar, aku membuka katup mulut. Tuan Penyekap akhirnya mengubah garis kaku di bibirnya menjadi sebuah lengkungan.

"Nah, seharusnya kaulakukan itu sejak tadi."

Tuan Penyekap memasukkan potongan roti yang sudah tidak sabar kulumat.

Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat, hingga menciptakan getaran kecil yang kemudian menjalar ke seluruh tubuhku.

Kenapa aku tak bisa melawannya? Kenapa dia selalu membuatku menuruti apa yang dikatakannya? Bagaimana aku bisa keluar dari sini jika melawannya saja tidak bisa?

Aku tak tahu selai apa yang ada di dalam roti ini. Semuanya terasa hambar di lidahku.

"Kau ini tunanganku. Calon istriku. Kau harus menuruti apa yang kukatakan."

Terserah kau akan mengatakan apa. Selamanya aku tidak akan pernah menerima pertunanganmu, ataupun lamaran pernikahanmu nanti.

"Berjanjilah untuk tidak mengulanginya lagi."

Suatu saat nanti aku pasti akan mengulanginya. Dan itu tidak akan membutuhkan waktu lama. Aku tidak akan berjanji dengannya seperti itu. Dalam hal ini, aku tidak akan menurutinya lagi. Apa pun tekanan yang dia berikan untuk membuatku menurutinya tidak akan membuatku terpengaruh.

Aku akan menolaknya.

Akan kugelengkan kepalaku.

Aku menganggukkan kepalaku.

Let Me Escape (Edisi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang