24

583 24 0
                                    

"Salam kenal! Aku Ryan."

"Elisa. Salam kenal!"

Saat itu, untuk pertama kalinya kami berjabat tangan.

"Dingin?"

"Tidak, kok."

"Jangan bohong! Badanmu sampai menggigil seperti itu."

Saat itu, untuk pertama kalinya dia menghangatkan tanganku.

"Ada seorang perempuan yang kusukai."

"Siapa?"

"Kau."

Sejak saat itu, kami berpacaran.

"Kau sedih? ... Kemarilah. Biarkan aku menenangkanmu."

Dia selalu mendekapku di balik hangat tubuhnya.

"Kautahu kalau kau tidak seharusnya melakukan itu, bukan?!"

"Kubilang aku tidak sengaja, Elisa."

"Tapi kau selalu mengulanginya!"

Terkadang, aku memarahinya untuk hal kecil—yang berujung pada pertengkaran.

"Maaf, Elisa. Setelah ini aku harus pergi ke rumah sakit. Temanku kecelakaan."

"Baiklah. Tapi, besok kita tetap pergi ke akuarium, 'kan?"

"Tentu saja." Dia pun mengukir senyum. "Hati-hati di jalan, ya."

Itu adalah kalimat terakhir yang kudengar dari mulutnya. Begitu pula dengan senyumnya. Seharusnya itu semua tidak menjadi yang terakhir. Seharusnya semua itu terus berlanjut. Semua ini gara-gara lelaki laknat itu.

Melihat air mataku yang tak berhenti mengalir, Tuan Penyekap mendekatiku. Jemarinya bergerak menelusuri pipiku, berusaha mengeringkannya.

Aku membuang wajahku.

"Jangan sentuh aku!"

Gerakan Tuan Penyekap terhenti sebentar, kemudian dia kembali ke posisinya semula. Tangannya dia sandarkan ke belakang.

"Aku bicara jujur, Elisa," ucapnya. "Aku mengenalmu terlebih dahulu sebelum kau mengenalnya. Aku tahu, karena dialah kau melupakanku. Lalu, kau pun berakhir di sini. Jika kau butuh seseorang untuk disalahkan, dialah orangnya."

Aku tidak mengerti ucapannya. Melupakannya dia bilang? Haha! Pernah mengenalnya pun tidak! Lelaki ini pastilah seseorang yang kehilangan kewarasannya, yang mencoba meyakinkanku dengan fantasinya yang sesungguhnya tak pernah terjadi. Dan karena fantasinya itu, kini aku kehilangan seseorang yang benar-benar aku sayangi. Dia mengatakan seolah-olah dirinyalah yang benar. Tak tahukah dia bahwa apa yang dia anggap benar hanyalah pembenaran atas tindakannya ini?

"Dia pantas mendapatkannya."

"Berhentilah berdelusi!"

"Aku tidak berdelusi, Elisa."

Kugerakkan kedua bahuku, mengelap pipiku yang basah. Kini sisa sungai yang sebelumnya membanjiri pipiku hanya tersisa di tepi kelopak mata, dan tak berniat untuk mengalir kembali. Aku pun menarik napas panjang, yang sangat berat untuk kuembuskan kembali.

"Sudah waktunya untuk tidur," kata Tuan Penyekap. "Kau mau minum susu terlebih dahulu?"

Aku menggelengkan kepala.

"Kalau begitu, tidurlah! Besok kau pasti akan merasa lebih baik." Tuan Penyekap menyentuh pundakku, hendak membaringkanku.

Aku menepisnya, lalu menjauhkan badanku darinya.

Let Me Escape (Edisi Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang