Pandanganku masih terpaku padanya selesai dia memainkan lagu itu.
"Bagaimana?" tanya Tuan Penyekap, menyadarkanku dari lamunan.
"Keren!" jawabku tanpa ragu.
Tuan Penyekap tertawa pelan seraya kembali duduk di hadapanku. Dia menaruh violin dan bow-nya kembali ke dalam tas.
"Terima kasih," ucapnya. "Oh ya, kau belum makan sejak tadi. Seharusnya kaukatakan saja jika kau lapar."
Tuan Penyekap pun bangkit kembali.
"Tunggu sebentar, Elisa!"
Tuan Penyekap keluar ruangan, dan kembali dengan membawa sepotong kue tar yang tergeletak di atas sebuah piring kaca.
"Kau ingin makan sendiri, atau kusuapi?" tanya Tuan Penyekap setelah kembali duduk di hadapanku.
"Aku makan sendiri saja," jawabku.
Tuan Penyekap menaruh piring tersebut di hadapanku. Aku segera memotongnya dengan sendok dan melayangkannya pada mulutku.
"Kau seorang violinis?" tanyaku.
"Bukan," jawabnya, "tapi aku sering memainkannya dulu, saat ada event di kampusku."
"Oh, begitu."
Aku memotong kembali kue di hadapanku, dan me-makannya.
"Kau suka permainanku tadi?" tanya Tuan Penyekap.
Aku mengangguk semangat. Tuan Penyekap melepaskan senyumnya.
"Aku akan memainkannya lagi nanti, kapan-kapan."
Aku tidak menyangka dia bisa memainkan violin. Aku memang tahu kalau dia lelaki yang cerdas, tapi kupikir hanya sebatas itu saja. Ingin kudengar dia memainkan violin lagi, tapi sayangnya sebentar lagi aku tidak akan berada di sini. Setelah persiapan kaburku selesai, aku harus berpisah dengannya tanpa diantar oleh ucapan selamat tinggal.
"Kau tahu Elisa," ucapnya tiba-tiba, "dulu aku tak pernah menyangka akan berada di sini bersamamu."
Ya. Aku juga tidak pernah menyangka akan diculik olehmu.
Tuan Penyekap sempat membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu sebelum dia menutupnya kembali. Dia lalu memutar badannya—mengubah posisinya ke sebelahku. Pandangannya dia biarkan melekat pada tembok ruangan. Dia mungkin tak menyadari bahwa aku memperhatikannya.
Pandangan Tuan Penyekap memang tertuju ke depan—ke tembok ruangan. Namun, aku merasa apa yang dia lihat sebenarnya bukanlah sesuatu di dalam ruangan ini, melainkan tempat lain, pada waktu yang lain pula. Matanya memutar film lama dalam ingatannya, yang tidak dapat kulihat. Berbagai emosi tebersit dari balik sorot matanya. Kerinduan, kebahagiaan, kesedihan, amarah, kekagetan, kepuasan. Begitu banyaknya emosi yang dia rasakan, hingga aku tidak bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi—apa yang sebenarnya dia rasakan.
Gawat, aku merasakannya kembali.
Rasa kagumku padanya, aku merasakannya kembali.
Tuan Penyekap mengembalikan ketenangan padaku, yang membuatku lupa akan apa yang telah terjadi, maupun yang kutemukan di ruangan ini. Begitu pula dengan secuil kepercayaanku padanya yang telah hilang dulu—saat dia memakaikan cincin secara paksa pada jariku. Aku heran kenapa dia bisa berubah-ubah sejauh ini, hanya dalam beberapa hari.
Aku tidak boleh tertarik padanya! Itu hanya akan membuatku terjebak dalam masalah. Aku sudah memiliki Ryan.
Tapi ... kalau sekadar kagum, boleh 'kan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Escape (Edisi Revisi)
Mistério / Suspense((TELAH TERBIT)) Begitu Elisa terbangun, dia menyadari bahwa dirinya berada di dalam sebuah ruangan yang tidak dia kenali dengan keadaan terikat. Bagaimana dia bisa berada di ruangan itu, dia tidak ingat. Seorang lelaki datang dan merawat Elisa...