14. Setitik rasa

7.5K 364 0
                                    

°°°°°

"Tasya!." Panggil seseorang. Aku berhenti dan berbalik badan. Kulihat kak Rika jalan tergesa gesa dengan tangan membawa P3K. Aku jadi penasaran untuk apa kotak P3K itu.

"Ada apa kak?." Aku berusaha sopan kepada kakak kelas apalagi jika itu osis.

Dia mengambil nafas dalam dan mengeluarkannya, begitu terus sampai dia merasa tenang. "Tadi Gibran bertengkar dengan Dika di kelas, tapi sekarang dia menghilang." Apa coba hubungannya dengan aku. Aku emang siapa nya? Pacar juga pacar bohongan.

"Emang dia kenapa?." Ya sedikit peduli nggak papa lah.

"Dia terluka dan gue mau ngobatin dia tapi dia ngilang gitu aja." Kak Rika terlihat cemas, tapi aku nggak heran sih kenapa dia cemas. "Nih lo cari dia dan kalau ketemu obatin, kalau sama gue nanti dia ngamuk, gue yakin kalau sama lo cewek yang dia cinta pasti bakal nurut, percaya perkataan gue." Kak Rika langsung pergi tanpa pamit.

Emang aneh Osis sekarang. Datang nggak diundang dan pulang nggak dianter lama lama bikin bingung. Apa sikap mereka selalu seperti itu atau sangking sibuknya dia sampai nggak bisa bilang hallo dan by ke orang. Aneh.

Sekarang aku jadi bingung kemana aku akan mencari si Nakal yang menyusahkan. Bukannya diam di kelas, sekarang malah sok jagoan dan bawa-bawa gue kalau susah kan aku juga yang di bawa bawa.

Aku memulai pencarian dari taman belakang karna menurutku itu adalah tempat strategis untuk kabur. Tapi pada kenyataanya dia nggak disitu.

Aku terus berjalan dengan kepala berputar kesana kemari dan mata mengintai. Seluruh tempat telah ku jelajahi dan aku benar benar lelah. Tujuan terakhir ku rooftop yang berada di lantai 6. Dapat dipastikan tenaga ku terkuras karna aku sedang berada di lapangan. Jarak sejauh itu bisa bisa aku pingsan di jalan.

Ku putuskan untuk mampir ke kantin untuk membeli 2 Roti dan 2 air mineral. 1 untuk ku dan satunya untuk Gibran. Bukannya sok peduli tapi Itu hanya untuk antisipasi saja kalau aku menemukan dia dalam keadaan kelaparan.

Sampai di rooftop aku langsung melancarkan pencarian ku. Di sudut terlihat pemuda berseragam Sma yang telah berantakan dengan sedikit bercak darah sedang mengisap dalam dalam rokok dan mengebuskannya pelan.

Tempat ini terlihat sepi dan bisa dibilang menyeramkan karna cuman ada sebuah bangku dan sisanya hanya meja meja usang tidak terpakai.

Aku mendekatinya dan menempelkan air mineral ke keningnya. Dia sedikit terkejut saat melihat keberadaan ku setelah itu dia kembali normal. Aku mendapati di sudut bibirnya mengeluarkan banyak darah dan luka lebam memenuhi pipinya.

"Ck,"Aku berdecak kesal melihat kelakuan nya yang satu ini. Kalau cowok udah berantem pasti ujung ujungnya cewek juga yang di susahin.

Dia tampak tidak berniat menatap ku. Dia hanya diam tanpa bergerak kecuali saat dia sedang membuang puntung rokok yang masih setengah.

"Lo kenapa berantem sama kak Dika." Dia hanya diam tanpa berniat menjawab pertanyaan ku. Mungkin dia terganggu karna keberadaan ku tapi kalau dibiarin bisa bisa memperpanjang masalah dengan seribu masalah nya.

Aku memeletakkan roti dan air mineral di sampingnya. Dia tetap diam. Aku menggeser wajahnya pelan sehingga kami saling beradu tatap namun nyatanya dia tetap diam. Aku merasa aneh dengannya, giliran susah dia ngomong aja ikutan susah eh giliran lagi resek omongannya juga ikut resek.

Aku mengobatinya perlahan, tatapannya tampak kosong kearah ku. Aku nggak tau seberat apa beban yang dia punya sehingga tatapannya begitu redup dan menggambarkan kepahitan.

"Selesai." Dia langsung kembali ke posisi semula. "Makan sana, itu gue beliin buat lo." Aku mengambil kue dan menyodorkan kepadanya.

Dia hanya diam tanpa berniat memandang kearah ku. "Mending lo pergi dari sini." Tuh kan sekarang dia malah bikin aku khawatir dengan sikap.

Aku menggeleng dan duduk di atas meja disampingnya. "Gue mau disini nemenin lo." Lagi lagi dia diam seribu bahasa. "Ngomong! jangan bikin gue khawatir Gibran." Aku begitu Gusar karna tidak terbiasa dengan sikapnya.

Dia hanya tertawa tapi tidak seperti biasanya, tawanya yang kini mengandung sebuah kepahitan yang sulit dijelaskan. "Kan perjanjiannya gue nggak boleh ganggu jam pelajaran lo, dan sekarang lo seharusnya belajar bukannya nungguin gue disini."

Dia kembali diam.

"Terserah lo mau bilang apa, gue akan tetap disini sebagai pacar lo walaupun cuman pacar bohongan." Tegas ku. Dia menatap ku dan kini berdiri tegak menghadap ku.

"Gue nggak papa dan sekarang lo balik ke kelas, gue juga bakal balik ke kelas tapi nanti." Wajahnya berusaha meyakinkan kan ku tapi aku tetap menggeleng. "Susah banget sih ngomong sama lo." Dia mengacak rambut frustasi.

"Ya bodo amat." Balas ku.

Dan pada akhirnya sampai jam pulang Aku dan gibran menghabiskan waktu di Rooftop hanya untuk sekedar dia ataupun bercerita mengenai sesuatu yang tidak penting untuk di bicarakan.

Ketua Osis [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang