Dear merah,
Aku tuliskan lagi sebuah surat yang mungkin tak pernah akan kusampaikan padamu. Bukan karena aku pengecut, tapi aku lebih memilih untuk saat ini biarlah surat ini ada disini terlebih dahulu. Belum waktunya.
Apa kabar dirimu, merah? Semakin hari semakin merona. Seperti yang sudah sudah, aku selalu mengagumi dirimu. Karena kamu merah. Merah, di dalam surat ini aku lipat beberapa senja yang pernah kita nikmati bersama di balkon rumahmu bersama dengan dua kucing kesayanganmu. Aku hanya mengenangmu, merah. Tak lebih. Karena aku pun tahu terkadang aku masih perlu banyak berbenah sebelum aku bersanding dengan dirimu.
Merah, jika suatu ketika kau memilih jalan yang lain, maka biarlah senja senja yang pernah kita nikmati bersama di balkon rumahmu, aku lipat dan aku simpan untuk aku ceritakan pada anak cucu bahwa senja yang paling romantis itu adalah dirimu sendiri. Senja yang perlahan digerogoti kelam malam. Senja yang pasrah untuk digantikan malam.
Merah. Merah. Merah. Karena namamu ternyata juga adalah warna favoritmu. Ternyata dengan kemerahanmu pula, aku sempat kau bakar dengan tatapan tajammu. Ternyata dengan merahmu itu pula aku jatuh cinta.
Maaf merah. Akhir akhir ini aku harus jadi pria yang idealis realis. Pria yang harus menghadapi kenyataan bahwa dirimu sesungguhnya tak pernah ada. Bahwa dirimu terlalu jauh untuk kurengkuh. Bahwa tawarnya hidupku juga karena rasa rinduku yang belum aku balaskan.
Merah, bila waktunya tiba, bolehkah aku membalaskan rinduku hingga tuntas?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan
PoetryBeberapa bunyi rindu tik tik tik tik yang beberapa pernah nyasar di Instagram.