15th Pole

33.5K 3.7K 264
                                    

           

15th POLE

~~||~~

Kriuk kriuk.

Bunyi perut Inara membangunkannya dari tidur. Setelah meregangkan otot, ia melirik jam dinding yang tergantung di kamarnya–menunjukkan pukul satu tengah malam.

Eh?

Kamar?

Inara menoleh ke samping dan menemukan Naya tengah tertidur pulas. Gadis itu berusaha mengingat kembali apa yang terjadi. Kalau tidak salah, hari ini ia resmi dilantik menjadi anggota Blackpole, begitu juga dengan Rahagi yang sudah resmi menjadi ketua.

Tahajud ah.

Jarang-jarang ia bisa bangun dini hari seperti ini. Seingatnya, ia berangkat dari Puncak menuju rumah pukul lima sore. Mungkin ia tertidur di mobil dan berjalan tanpa sadar menuju kamar.

Astaghfirullah, belum salat Maghrib-Isya.

Setelah menyelesaikan urusannya, Inara memutuskan untuk membuat cokelat panas. Tak lupa, diambilnya ponselnya kemudian dimasukkannya ke dalam saku piyama. Keningnya berkerut saat menemukan lampu dapur hidup.

Untuk kedua kalinya, Inara menemukan Rahagi tengah merokok di teras belakang. Ia menggeleng-gelengkan kepala. Segera, dihampirinya kakak tirinya itu. Inara membuka pintu teras dengan perlahan agar Rahagi tidak menyadari kehadirannya. Akan tetapi, usahanya sia-sia karena Rahagi sontak menoleh ke arahnya.

"Hm, hai!" Inara tersenyum kikuk. Ia tiba-tiba bingung mengapa ia ke sini.

Rahagi mematikan rokoknya tanpa bicara apa-apa.

"Eh, tunggu bentar ya!" Inara berjalan cepat menuju lemari tempat ia menyimpan cemilannya. Seingatnya, ia membeli permen ketika Tyas meminta Rahagi dan dirinya untuk belanja bulanan.

"Di mana ya?" Inara membongkar-bongkar lemari tersebut. Sementara itu, Rahagi memperhatikannya melalui jendela besar yang menghubungkan teras belakang dan dapur.

"Nah!" Inara menemukan sebungkus permen coklat susu. Diambilnya lima buah permen tersebut.

Dengan sumringah, ia menghampiri Rahagi dengan lima permen di genggamannya. Gadis itu mengambil tangan Rahagi, dan meletakkan permen tersebut di atasnya.

"Lebih baik daripada rokok." Inara menarik tangannya kembali.

Rahagi hanya diam menatap permen yang ada di tangannya. Hatinya menghangat. Ia tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Seakan-akan, ada kekhawatiran terhadap dirinya. Ada perhatian.

"Gini ya, rasanya punya ibu?" Rahagi tersenyum miring, menertawakan diri sendiri.

"Hah?" Inara tergelak. "Itu bukan apa-apa. Nanti di masa depan kalo lo udah punya istri, punya anak, lo bakal tahu gimana rasanya punya ibu walaupun cuma ngelihat."

Rahagi tersenyum. "Then, gue menantikan saat-saat itu."

Inara mengangguk. "Ntar kalo udah tahu jangan lupa kasih tahu gue!"

"Ngasih lo tahu?" tanya Rahagi dengan ekspresi yang sulit Inara deskripsikan. Di antara melawak dan serius.

"Bukan itu, Bego!" Inara menjitak kepala Rahagi.

"Sakit!" Rahagi mengelus kepalanya–bekas kejahatan Inara.

"Saaaaakit kit kit kit kit, haaaaaatiku, hatiku!" Inara refleks menyanyikan lagu Sakit milik Kunto Aji, tetapi versinya Eka Gustiwana yang dinyanyikan oleh Da Lopez Brothers.

AntipoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang