50th POLE
~~||~~
"Serius lo, Na? Waisa yang itu? Waisa Ningrum yang sekelas sama kita waktu kelas sepuluh? Yang dulu pengurus OSIS?"
Inara hanya mengangguk kalem mendengar pertanyaan yang bertubi-tubi dari Sabrina. Keduanya sedang berada di dalam kelas, menghabiskan makan siang mereka. Seperti hari-hari sebelumnya, Sabrina membawa bekal untuk program dietnya.
"Gue nggak nyangka dia selicik itu." Sabrina menggelengkan kepala dengan dramatis. "Sumpah ya, rasanya pengen gue tatar habis-habisan tuh orang. Gue pikir dia orang baik-baik."
"Semua orang bisa berubah, Sab. Tapi gue belum tahu apa motifnya. Habis ini gue mau ngurus ini sama Jack di ruang wakasis." Inara memasukkan suapan terakhir makanannya.
"Iya, sih, semua orang bisa berubah. Tapi, nggak nyangka aja gue. Terus Gading mantan teman sekelasnya Gala itu juga terlibat? Padahal kalau dari pengamatan gue nih, dia anaknya super kalem gitu. Rajin bimbel lagi."
"Kita nggak bisa nilai orang dari tampilan luar doang, Sab."
Sabrina mengangguk setuju. Ia yang terlebih dahulu selesai dengan makanannya, menutup kotak bekalnya lalu meraih botol minuman yang berada tak jauh darinya. Setelah meminum isinya beberapa teguk, Sabrina menutup botolnya.
"Semangat, Na! Gue tahu kalau lo cewek kuat."
"Makasih, Sab."
# # #
Inara melipat tangannya di depan dada seraya menatap Gading dan Waisa yang sedang duduk di hadapan Bu Aminah. Di sebelahnya, Jack berdiri sambil tersenyum puas karena tanpa perlu bersusah payah, Gading dan Waisa datang dengan sendirinya ke ruang wakil kesiswaan.
"Ada apa, Gading, Waisa?" tanya Bu Aminah setelah mengesampingkan proposal-proposal event sekolah yang harus ia tandatangani.
"Eum." Waisa menatap Bu Aminah takut-takut.
"Kenapa?" tanya Bu Aminah lagi.
Wanita paruh baya berkerudung itu tidak mengerti apa yang terjadi. Tiba-tiba, dua siswa mantan mata-matanya itu menghampirinya ke ruang wakil kesiswaan, disusul oleh Jack dan Inara.
"Kami mau membuat pengakuan, Bu," ujar Gading yang membuat Waisa sontak menatapnya kaget. Gading masih berusaha untuk menatap wajah Bu Aminah, meskipun sebenarnya lelaki itu malu atas apa yang ia perbuat–rasanya ingin menunduk saja.
"Pengakuan apa, Gading?"
"Gue belum siap, Ding, astaga," bisik Waisa seraya menutup mukanya dengan kedua telapak tangan.
Bu Aminah menatap keduanya aneh.
Gading menarik napasnya. "Apa yang kami laporkan tentang Blackpole sekitar satu setengah tahun yang lalu itu bohong, Bu."
Pupil mata Bu Aminah melebar.
"Inara benar. Blackpole memang sebaik itu, Bu." Gading menunduk, begitu juga dengan Waisa.
"Apa benar, Waisa?" tanya Bu Aminah. Ia kecewa dengan dua siswa yang duduk di hadapannya ini. Tidak menyangka bahwa orang yang ia percayai, dengan mudahnya menghancurkan kepercayaannya.
Waisa menaikkan kepalanya takut-takut. Ia mengangguk pelan.
"Sebenarnya, nggak ada anggota Blackpole yang mem-bully kami ketika kami ketahuan jadi mata-mata, Bu." Waisa bersuara.
"Kenapa kalian berbohong?"
Cukup lama Gading dan Waisa terdiam.
"Ibu masih menunggu jawabannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Antipole
Jugendliteratur•Completed• Kita ada di kutub yang berbeda. Sekolah yang terkenal disiplin dan memiliki segudang prestasi bukan tidak mungkin memiliki murid yang nakal dan pembangkang. Luarnya memang begitu, tetapi dalamnya siapa yang tahu? Inara tidak terl...